rangkaian_kisah

Wednesday, July 05, 2006

Lila, Sayap Ibu Dan Kematian

Lila, Sayap Ibu Dan Kematian
Prosa Liris Titon Rahmawan

Seperti sebuah cerita, Lila mengisahkan dirinya. Dari bibirnya mengalir sebuah lorong, tiada menera apa-apa selain hampa dan kesunyian. Seperti berusaha menemu arti kebahagiaan sekali lagi, seperti sepotong luka yang ingin menghirup wangi udara dari remah-remah mimpi. Sedang tak ada mimpi bagi orang-orang yang tak pernah tertidur. Tinggal Lila sendiri sibuk meratapi luka yang tak hendak tertutup, luka yang tak hendak lelap oleh lapar dan kantuk.

Lila tak hendak menceritakan kisah yang lain selain dirinya, kisah yang ingin ia tulis sebagai satu-satunya kenangan bagi sang waktu. Ibu yang memiliki segala-galanya. Tapi serupa jurang yang menganga menunggu tubuhnya jatuh meluncur, ia tak pernah menemu dasar, bahkan ia tak pernah menemu jalan untuk menuliskan dirinya kembali. Tak ada dawat yang cukup kental untuk menyatakan luka-lukanya, tak ada pena yang cukup tajam untuk mendedah kesunyiannya. Begitulah, seperti sebuah kisah yang tak pernah selesai dituturkan, Lila merubah insomnia sebagai satu-satunya cara untuk menafsirkan kepedihan.

Serupa angin, ibu masih suka mengajaknya berjalan mengarungi senja atau menjemput fajar. Ketika usia masih belum menera kesendirian di dada Lila, ketika tangan lembut ibu masih sering mendekap tubuhnya. Dan harum samar yang terbit dari kulit ibu seperti kuncup melati yang mekar di pekarangan, menjalar di pagar bambu, dan menciptakan lanskap cantik tepat di depan jendela kamar Lila. Masih serupa angin, ibu sering berbisik ke dalam telinganya. Menuturkan puluhan cerita, mendendangkan ratusan lagu. Tak sempat mengingat ada temaram kabut di mata ibu, atau sesayap nyeri menggeliat dalam dadanya. Begitulah ibu menanam pokok melati itu di hati Lila, bersama tawa dan kegembiraan. Merangkum sunyi dan perih di dalam lembut tetesan hujan. Tiada henti mengalir, mengguyur tubuh Lila, membasahi tunas-tunas muda dalam hatinya.

Namun serupa hujan membawa kelam langit mendung, ada kelopak-kelopak bunga melati yang gugur, ranting yang runduk di dalam cemas dan basah daun-daun. Membaca wajah ibu, membaca luka waktu. Kerjap kilat di langit, dan gemuruh guruh pecah di awan-awan. Menanda nyeri di dada Lila.

Sekiranya saja ibu bisa menjelma di setiap putaran waktu, maka tak perlu ada kesedihan… Desah angin membelai kepala Lila. Dan rumpun melati itu menjadi basah oleh genangan hujan yang tak putus-putus turun dari langit.

Tepat di detik itu, Lila melukis senyap bersama bayangan ibu. Berlalu dari dalam rumah melewati ruang tamu, lalu membuka pintu. Melewati halaman dan riuh jalan raya sebelum henti di bawah pokok kamboja, henti di dalam lengang batu-batu tempat menanda dunia orang mati. Tak ada karangan bunga, hanya rintik gerimis dan gugur daun-daun. Serpih ingatan yang menyentuh rumpun bambu di pekarangan, umpak yang pecah dan pagar yang nyaris roboh. Semuanya berbicara kepada Lila; setelah waktu, setelah detik itu berlalu, semua menggumamkan kematian, mengalunkan tembang yang entah berasal darimana, dari dunia yang jauh. Suara yang luruh bersama gerimis. Telah tumbuh sepasang sayap di punggungmu Ibu, tapi mengapa kau tinggalkan diriku sendiri saja?

Tak ada jawaban dari bibir ibu, hanya senyum yang menanda senyap. Mungkin ada sesayap nyeri yang sempat melintas, angin dingin menerpa wajah Lila dan mencuri ingatan di dalam benaknya, menghapus tangis dari pipinya. Namun kosong itu seperti enggan berlalu dari dalam hati. Bercokol begitu dalam, membawanya berjalan memasuki lorong tanpa ujung, waktu yang berulang dan terus berulang menulis ibu, bicara ibu, meneriakkan ibu. Waktu yang tiada henti menggali nyeri, berputar kembali tepat di detik itu. Lila menggambar senyap bersama bayangan ibu. Berlalu dari dalam rumah melewati ruang tamu, lalu membuka pintu. Melewati halaman dan riuh jalan raya sebelum henti di bawah pokok kamboja, henti di dalam lengang batu-batu tempat menanda dunia orang mati.

Sekiranya rembulan bisa bercakap, atau menulis peristiwa itu sekali lagi. Ia akan sempat menemu angin di atas hamparan awan mendung dan senja yang membeku di langit, sibuk melukis titik-titik hujan yang membuat telaga dalam tubuh ibu. Gerimis yang gugup dan tak berani mengangkat muka untuk menatap sisa harap dalam pejam matanya. Barangkali masih ada getar dedaunan di luar sana. Karena wajah ibu masih serupa Lila, kuncup seroja di tengah taman, batu-batu berlumut, jendela-jendela tertutup dan bunga bugenvil di atas pergola merenda hati dari benang-benang kesunyian. Hamparkan resah, seorang kanak-kanak dengan gemuruh air terjun dalam dadanya. Menera gersik pasir dan runcing kerikil, mengusik waktu yang sejenak terdiam, dengung nyamuk dan suara katak melangkah ke gerbang makam. Berusaha menghapus perih di mata. Desah yang kemudian melompat, mengetuk pintu jendela malam perlahan sebelum menelusup di bawah bayang-bayang rembulan. Sepenuh hasrat Lila mencium wajah senyap yang terlanjur lekat di garis bibir ibu yang pucat kebiruan.

Menatap wajah ibu di gerbang waktu, melontarkan Lila ke dalam mimpi; deru debu, derak suara dokar, ringkik kuda dan hamparan sawah masa lalu. Sekumpulan bocah seumur Lila gembira bermain gundu dan lompat tali, menangkap pias wajah rembulan di remang senja. Menelusuri jalanan berbatu pulang ke rumah ibu, kepada kampung halaman, kepada hamparan ladang, kelok pematang sawah dan rumpun bambu di kejauhan. Rindu masih menera bunyi sekali lagi, semilir angin, merdu suara tekukur, dan sisa tawa kanak-kanak yang mengabur bersama debu dan roda yang berputar. Menggenggam tangan ibu, dalam kehangatan yang tiada henti terpancar dari teduh matanya. Serupa melankoli, memanggil waktu pulang kembali, keping hasrat dan kerinduan. Seri wajah ibu dan rumah kakek melambai di kejauhan.

Menatap wajah ibu di gerbang waktu membuat Lila entah mengapa ingin tertawa, seperti sedang mengingat kembali sebuah kisah lucu dimasa kanak-kanak. Waktu yang memerangkap dirinya di dalam almari, dalam gantungan baju-baju dan sepotong fajar yang tersemat di dinding. Ada remang cahaya yang berpendar di sana membunyikan musik di dalam gelap, dalam tarian sepasang angsa yang berenang di dalam genangan kerinduan. Dalam latar sebuah lanskap berwarna putih dan seorang ibu dengan sepasang sayap. Lila tak pernah menangis semenjak itu, seperti hendak melupa perih waktu yang pergi bersama ibu dan meninggalkan tetesan gerimis di atas tempat tidurnya.

Tak ada sayap-sayap pelangi yang lebih cemerlang dari milik ibu, ia yang menyimpan senyum di sela-sela bulu sayapnya dan tubuh mimpi yang terbaring dalam cahaya fajar. Membuka jendela dan menghirup seluruh udara cinta yang tersebar dari ranting-ranting pohon dan semak-semak forget me not. Dingin embun yang selalu menyentuh hati Lila. Dan rumah mungil itu seperti melampaui semua cerita masa kanak-kanak, ia yang tak lagi menangisi kesendirian. Ia yang telah merangkum sunyi menjadi bagian abadi dan paling rahasia dalam hatinya. Serupa ikan yang berenang di dalam kolam di belakang rumah, serupa batu-batu berlumut, dan riak yang terpecah dari air yang mengalir dari tabung bambu. Lila telah tenggelam dalam pusaran waktu, berusaha melupa airmata kesedihan dan perihnya kematian. Sayu wajah ibu yang mengabur di remang kabut sebelum kemudian menghilang tertawan gelap.

Mei 2006

Tuesday, January 25, 2005

Rembulan Mengambang Di Kali Bangkai

Rembulan Mengambang Di Kali Bangkai
Cerpen Titon Rahmawan

Kala malam papa seorang lelaki membawa senyumnya paling beku mengendap-endap di balik jendela hasratkan rembulan sayu. Malam kering menyimpan ketakutan dan maut dalam matanya, seperti kabut yang dingin menyentuh tengkuk malam. Daun-daun di pucuk pohon waru bergoyang perlahan membuat batu-batu di halaman berdiri, menggelinjang kedinginan dan basah air kencing di ujung rerumputan sebarkan aroma menusuk. Di balik remang malam dalam sebuah bilik terkunci, seorang perempuan terbaring lena bermimpi tentang sepi angan-angan terbang merambah malam menanti kekasih pulang meronda. Waktu yang berkeloneng, rembulan sungsang dan dingin yang menelisik begitu menggoda, malam resah berbisik di telinga parewa, lelaki laknat mendesah…ah bukankah ini juga yang engkau mau… birahi malam…yang engkau tunggu-tunggu?
Kelelawar terbang di ujung malam bercericit seperti bayang-bayang mabuk sembunyi di balik rimbun pohon kamboja. Nisan-nisan di pinggiran desa termangu diam di atas onggokan tanah kelabu rebah, membawa selaksa kisah dari tepian kubur. Pagar-pagar kayu warna putih kusam sepanjang gerbang-gerbang desa yang sepi kian terlelap mengangguk-angguk oleh alunan mimpi, tirai pohon bambu yang gelap berkesiur terbuai angin resah, tidur yang gelisah menghitung sisa waktu tak kunjung menjelang, fajar yang tak juga datang pada suara rengeng-rengeng rumah gedek tetangga di kejauhan, seorang ibu masih terdengar menina bobok bayinya mengayun buaian melantunkan dandanggula, terbit lentik cahaya dari lentera berkebat-kebit terhela angin sembribit.
Perempuan molek terbaring gelisah dibalut mimpi yang resah terkurung dalam bilik terkunci, hasratkan lamunan, cahaya rembulan yang telanjang menerobos kisi-kisi jendela hendak puaskan dahaga malam. Semburat cahaya wilwatikta naungi batin sunyi sepi tatkala tembang asmaradahana mengalun jauh ke dalam lubuk hati gundah gulana. Langit penuh petaka siratkan isyarat kunang-kunang yang hasratkan terbang pulang meniti bias-bias titik-titik embun di ujung patera. Rintik hujan yang turun dan luruh daun-daun membawa seribu laknat bagi jiwa musafir kehausan di tengah belantara gurun.
Degup hasrat lelaki laknat begitu leta membelai-belai jantungnya, sisipkan mantra pada hening malam biar semua mata terpejam, terpejam seribu tahun, dan biarlah dunia sesaat mati tanpa cahaya, dan hasrat kuat membelenggu seperti rantai-rantai besi yang mengikat hati perawan, koyak moyakkan batin perjaka, jiwanya tak putih lagi, tak putih lagi. Demi khianat langit dan hasrat malam sepi yang tak direstui di semburnya palung bumi yang paling dalam, dan air keruh kian membual dari sumur hasrat, mata khianat hati khianat, torehkan belati tikam jantung rembulan kucurkan darah sendiri tak merah lagi, laki-laki laknat mengerkah jendela dan menyusup diantara jeruji malam melewati remang titian cahaya.
Mata nyalang lelaki laknat tersihir oleh sungai rembulan yang berkilau sepanjang bukit-bukit dan lembah begitu menggoda, penuhi angan dan mimpinya akan sejuta cahaya. Membayang tenang wajah sang gadis nan molek tergolek di atas pembaringan beku, redup samar menyentuh hasratnya dengan kerlip cahaya, rembulan tengah malam yang tak henti menitik ke atas peraduan sepi. Duhai kekasih dewata terbaring lena di peraduan, tersentuh jiwa lelaki oleh sayup-sayup tembang asmaradahana dikejauhan hati, suara malam yang jatuh ke atas permukaan kali bangkai. Senyap senyum sang gadis terbuai mimpi panasea bagi hati lara oleh asmara.
Gadis putih murni, padusi elok laksana seroja terapung di tengah hening telaga bening jernih. Siapa lelaki tak terpesona oleh cahya teratai putih, padma segala padma, merajut batin resah tatkala dahaga meraja hasratkan rembulan putih suci. Titik-titik hujan menggertap di ujung patera membawa hasrat mendekat meretas mimpi. Dan hasrat setinggi gunung mengepung jiwa lelaki kesepian, mendengus nafsu jalang seribu banteng, sang gadis molek tersentak dari mimpi yang papa tapi apa daya kaki dan tangannya terbelenggu, pedih cambuk lelaki laknat melecuti wajahnya yang putih, merobek seluruh gaun malam, balutan demi balutan tinggal serpihan tak berdaya, hasrat lautan menggempur karang, menghunjam ke dalam gua garba tersia-sia, dan sepanjang perjalanan melintasi malam diterimanya dera tikaman demi tikaman sepedih pisau yang meremukkan batinnya.
Di setiap pergumulan ia ingin seru tuhannya, tapi lidahnya terbelenggu, dan tangan-tangan kokoh lelaki laknat begitu kuat mengunci tubuhnya menyayat jiwanya makin pedih, teteskan darah kental menghitam membasahi relung-relung kesuciannya, membasahi kain sprei putih, menodai tempat pemujaan paling agung dan di depan pintu bilik terkunci gadis paling papa roboh terkapar namun bibirnya kelu masih sempat menyeru, “Duh Gusti… ampun…jangan lagi kau siksa aku seperti ini!” tapi lelaki kalap telah menyelinap pergi lewat titian cahaya membawa tetesan darah rembulan di antara kedua belah kakinya.
***
Daun-daun waru menggoreskan riak kepedihan di atas permukaan kali bangkai, kepapaan yang mengerat hari-hari penuh luka, berguguran dalam perjalanannya mencari kekasih, lelaki malang yang tak kunjung pulang. Hati begitu rapuh oleh kesedihan yang mengiris kalbu. Begitu lama tenggelam dalam isak tangis menghiba, sihir sang perempuan jadi batu, rengkuhi sesal di atas batu-batu sepi membeku, angin dingin riapkan basah embun ke wajah ternoda dan bayangan kelabu kekasih mengabur makin lama makin jauh.
“Duh Gusti, haruskah aku kunyah luka ini?” sementara dada gemuruh api, membakar diri jadi serpihan-serpihan benci dan dendam, bergemuruh… bergemuruh…. dan bayangan kekasih berlepasan… bertebaran, seperti daun-daun gugur dari tangkainya dan jatuh ke permukaan kali bangkai, membuat riak tak berkesudahan dalam hatinya yang kian papa.
Sang gadis tak murni lagi, tubuh begitu lesa lemah tanpa daya, bergolak batin resah jiwa gelisah meraja oleh dera tajam pisau bayangan mata kekasih, membara mengamuk dada, api merepih tuba, asap memedih mata, pedih cuka, menyayat tubuh jauh ke dada, jauh ke dada.
Perjalanan kabut, nista sengsara, merenggut impian surgawi pernikahan yang baru seumur malam, terkoyak-koyak batin putih murni terpuruk hingga jurang paling dalam, tapi perempuan malang itu terus berjalan, berjalan dengan hati sendu, diiringi tembang megatruh pedih membius sukma. Tubuh itu limbung terhela angin, isak tangis membubung tinggi penuh duka lantunkan doa ke hadirat Sang Hyang Widi. Terucap janji setia hati putih murni ingkari duka belum terjamah lagi, belum terjamah lagi oleh angkara murka nafsu gergasi, tapi api di hati tak kunjung padam, tak jua padam warna merahnya, kerkah panasnya, dan bara mengamuk menerjang kuncup-kuncup melati hati putih suci, jiwa putih murni yang tersia-sia, tersia-sia mendamba teduh mata kekasih, lelaki paling malang.
Ada bunyi guruh gemuruh di kejauhan menghalau wajah rembulan yang resah, burung-burung malam terbang tergesa isyaratkan kecemasan musim, angin dingin, hujan pun kembali rintik menitik dan daun-daun luruh ke atas permukaan kali bangkai, riak airnya membayang kilat sekelebat yang sabung-menyabung di langit gelap. Awan kelabu melawat kalbu riuh angin bertalu gemuruh guruh goncang beradu lesak-lesakkan sejuta tanya pada gundah batin papa menyayat luka jauh ke dada. Di luar diri malam tergugu, sepi bintang sepi membeku simpan resah seluruh kisah rembulan lungkrah menelan gundah.
“Di manakah engkau, kekasih?” gadis pasrah tunduk merebah menitik darah jantung terbelah.
“Di manakah engkau, duhai kekasih?” tangan hasrat kembali menggapai tak juga sampai, perempuan malang diamuk sunyi kembara langit sendiri sia-sia mencari.
Menjelang fajar dini hari rumput-rumput sepanjang tepian kali bergoyang mengusir kecemasan mimpi, hati yang galau dan kegeraman perbukitan yang berkilau di kejauhan, menyihir mata orang-orang pergi mengail dan pencari kayu di pinggir hutan, wajah diam terpukau kemilau gaun putih ternoda gadis paling papa, jiwanya masih putih sekalipun tubuh terbalut kepedihan, berdiri ia terpaku di atas bantaran kali bangkai batu beku batu pilu, pucat wajahnya pias cahaya, riap rambutnya sulur rimba melayang dalam remang kabut. Rembulan pucat pecah jadi serpihan bola api berpendar-pendaran di atas permukaan air yang bergejolak, gemuruh…gemuruh… menyelubungi tubuh gadis paling papa yang melompat dengan kepedihan batu ke dalam gejolak gemuruh kali bangkai meninggalkan bunyi guruh bersahut-sahutan di ujung langit kelam.
***
Usai menjaga malam, lelaki malang berjalan seolah terbawa mimpi bersama kabut bayang-bayang kekasih. Gadis itu tersenyum pedih dan kemudian menangis, ada sumbang dalam bibirnya, ada pedih dalam matanya. dan lelaki malang didera seribu cemas hendak mengejar bayang-bayang kekasih yang mengabur seperti kabut. ”Mengapa langit menulis kepedihan dengan wajah muram, seolah mengirim rangkaian isyarat penuh mimpi buruk yang tak kunjung usai?” batin lelaki malang resah tak hentinya bertanya pada diri sendiri.
Rembulan membaca cemasnya di atas pasir yang basah, di mana dilihatnya wajah gadis kekasih hati baru sehari dinikahi membayang semakin jelas, berdiri lunglai di depan mata dengan luka-lukanya yang telanjang. Air mata lelaki malang terurai seolah menumpahkan semua kecemasan yang menyesak dada, “Duhai kekasih, hanya semalam aku pergi dan apa pula yang hendak merenggutmu dari cintaku? tak akan pernah kubiarkan takdir merebutmu dariku!”
Lelaki malang tergesa berlari pulang dan segera masuk ke bilik kamarnya yang sederhana, tapi peraduan telah lisut porak poranda, dan tetesan darah kekasih menggenang membasahi fajar yang merekah di ujung kakinya yang gemetar. Lelaki malang hilang akal menurutkan serpih-serpih cintanya yang berceceran dan bercak-bercak pedih jiwa sang kekasih yang terserak sepanjang tanah basah penuh kerikil tajam. Tak dihiraunya rajam batu-batu ia terus saja berjalan, berjalan begitu jauh hingga rembulan membawanya ke tepi kali bangkai. Bayang kabur gadis disampingnya kembali menangis, menunjuk jasad mengambang yang tersangkut pada akar pepohonan. Bulu kuduk lelaki malang meremang dan sekejap kemudian barulah ia tersadar tengah berdiri di depan jenazah kekasih hatinya yang mulai membusuk, dan dari kejauhan terdengar kesiur bunyi angin mendesahkan kepiluan.
Kuningan, April 2004
Catatan:
Asmaradahana: komposisi tembang macapat untuk mengungkapkan perasan cinta
Dandanggula: bentuk puisi jawa yang merupakan tembang
Megatruh: komposisi tembang macapat untuk melukiskan perasaan kesedihan mendalam
Padusi: perempuan
Panasea: obat mujarab
Parewa: penjahat, perusuh
Patera: daun
Rengeng-rengeng: menembang dengan suara lirih
Sembribit: api yang bergoyang-goyang tertiup angin


Tuesday, June 08, 2004

Harga Sebuah Kebebasan

Tanah ini terasa begitu pahit, seperti sebuah tempat yang asing, seperti jalan yang semakin terpinggirkan dari peradaban, tapi di sinilah aku hidup dan menggantungkan nasib, aku telah banyak berhutang budi.

Jiwaku berontak, tak boleh ada pemerintahan seperti ini yang membuat kekuasaan semena-mena dalam batok kepala setiap orang, semua begitu sarat oleh beban hutang menumpuk dalam darah setiap bayi yang baru lahir membuat rakyat kecil semakin menderita terpuruk oleh kepapaan yang kian menjerat.

Batin menangis menyaksi mereka kian jauh terusir, hidup seperti iring-iringan jenazah, terus saja berpindah-pindah bingung mencari tanah yang kosong, sedang diri sangsi terus saja bertanya masih adakah harapan di luar sana?

Dosa mengingkari nurani, sedang orang-orang malang itu tak mampu berjuang sendiri, mereka membutuhkan lebih dari sekedar semangat harus ada yang berani angkat bicara, mereka membutuhkan diriku!

Kuputuskan memimpin perlawanan, menentang gejolak batin sendiri, sekalipun aku akan di cap anarkhi, sekalipun aku bisa tewas dalam perjuangan ini tapi panggilan jiwa sudah mengeras dalam diriku.

Para ibu penjual sayur menembang dengan bibir gemetar, “Cah angon, cah angon penekno blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekno kanggo masuh dododiro…” haru air mata mereka menitik jadi serpihan semangat di dada kami.

Api memanggang bara asap mulai mengepul sedang tangan sudah kami acungkan tinggi-tinggi, hingga kemudian aku dibungkam di tengah bongkaran pasar dan lapak-lapak rubuh, mata-mata penuh angkara meringkus tangan dan kakiku dari kios-kios ambruk yang sebentar kemudian telah jadi senyap.

Ada labu dijejalkan dalam mulut teman-temanku mereka yang turut melawan, kemarahan meledak jadi robekan baju dan pecahan sepatu, batu yang beterbangan telah memecahkan kesadaran pula, tapi rupanya belumlah cukup.

Suara-suara gempita telah mengantar kami ke kota, tempat nama-nama para demonstran dihapus dari dalam ingatan, begitu juga namaku dan masih banyak nama-nama lain yang sebelumnya aku kenal, aku telah berubah jadi angka, cuma angka!

Sekalipun tangan, kaki dan leher terikat, mulutku masih sempat teriakkan kemarahan, ”Bangsatttt! ini zaman bukan milik kalian sendiri…kalian tak lebih dari bajingan!.... arogansi kalian cuma berani semena-mena menginjak kepala kami!.... kami bukan babi yang bisa kalian gorok tanpa melawan!”

Tapi kemudian aku dipaksa diam oleh tonjokan demi tonjokan di wajah, aku berdarah-darah seperti anjing, namun aku berasa bebas, bebas seperti angin yang lama terpendam dalam perut yang busuk.

2003


Selingkuh

“Ini adalah soal moral!” kataku sengit.
“Bukan, ini cuma masalah kebutuhan,” jawab adikku enteng.
“Mana bisa? kau tak boleh mempertaruhkan perkawinanmu dengan cara demikian!” kataku masih dengan nada keras.
“He…he…he, tenang saja Mas, selama Mas nggak ngomong apa-apa sama Ratri semuanya pasti beres,” adikku menjawab masih dengan nada santai.
Tapi aku tak bisa membiarkan masalah memusingkan ini berlalu dengan cara demikian gampang. Aku tak bisa berdiam diri saja melihat adikku Andy melakukan penyelewengan sementara istri dan anaknya yang tinggal jauh di Semarang mengharapkan kehadirannya setengah mati. Sekali pun adikku punya alasan tersendiri soal masalah ini, namun hingga saat ini aku belum bisa menerimanya. Bagaimana pun aku memahami kesulitannya harus berpisah dengan anak istri untuk sekian waktu lamanya tapi itu bukan alasan yang bisa menjadi pembenaran atas tindakannya itu.
Sudah lebih dari satu setengah tahun ini adikku terpaksa harus bekerja di Jakarta, ya memang sudah sekian lama pula ia pontang-panting mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. Ia memang ahli dibidang komputer, mengotak-atik program dan merancang grafis, tapi rupanya keahliannya itu tak cukup memberi jaminan baginya untuk segera memperoleh pekerjaan dan ia telah berusaha keras melamar kesana kemari di daerah sekitar Semarang, Solo dan Yogya namun tak satu pun perusahaan maupun instansi yang mau mempekerjakannya, sementara itu ia harus menanggung hidup istri dan anaknya yang baru berumur tiga bulan.
Untungnya selama ini istrinya yang lulusan akademi perawat dua tahun lalu telah memperoleh kesempatan dapat bekerja sebagai tenaga honorer di sebuah rumah sakit swasta sebelum akhirnya diangkat resmi jadi pegawai negri beberapa bulan yang lalu. Jadi praktis Dik Narti iparku itulah yang menyangga kehidupan keluarga adikku selama ia masih menganggur, dan rupanya keadaaan itu lama kelamaan merongrong wibawa dan eksistensi adikku sebagai seorang suami sekaligus posisinya sebagai seorang kepala keluarga. Untunglah akhirnya aku berhasil memperoleh informasi lowongan kerja buat dirinya di sebuah percetakan, tapi mau tak mau ia harus hijrah ke Jakarta.
Sekali lagi adikku dihadapkan pada sebuah keputusan sulit, tetap menganggur di Semarang atau bekerja tapi di Jakarta. Dalam kondisi demikian tentu saja ia tak bisa memboyong istrinya seketika ke Jakarta, akhirnya melalui serangkaian pertimbangan alot adikku memutuskan untuk mencoba kerja dulu di Jakarta barang setahun dua tahun sekalian untuk mencari pengalaman, dan siapa tahu pula nanti akan muncul juga kesempatan untuk bisa kerja di daerah.
Sementara itu dari hasil kerja di Jakarta bisa dipakai pula sebagai batu loncatan untuk membenahi hidup keluarganya. Ia yakin dengan kerja keras dan upaya pantang menyerah nantinya ia akan cukup memiliki tabungan untuk memulai usaha kecil di Semarang yang dapat ia pakai menunjang hidup keluarga bila toh ternyata tak ada juga pekerjaan di daerah yang dapat mempergunakan keahliannya. Jadi begitulah adikku dengan setengah hati terpaksa menerima tawaran kerja sebagai tukang desain di sebuah percetakan di Jakarta, tentu saja hal itu tak terlepas dari peranku dimana kebetulan pemilik usaha itu adalah salah seorang teman dekatku semasa kuliah dulu di Yogya.
Setelah berlalunya waktu aku pikir adikku akan cukup mampu mengatasi kesulitannya sendiri, dan tampaknya memanglah demikian, terlihat ia mulai dapat menikmati pekerjaannya, bahkan sering kujumpai ia pulang malam setiap kali sampai jam 11 atau 12 malam baru tiba di rumah. Semula aku selalu mengingatkannya agar tak usah terlalu ngoyo mengejar materi tapi ia selalu menjawab dengan santai, “Yah daripada bengong di rumah Mas, lebih baik lembur…lumayan ada uang tambahan.”
Dan aku pun jadi terbiasa dengan situasi itu. Ia selalu membawa kunci rumah sendiri sehingga bila terlambat pulang ia tak perlu repot membangunkan aku atau istriku. Tidur anak-anakku pun tak perlu terganggu, tapi rupanya kebiasaan pulang malam itu bukan semata-mata karena lembur saja, sebagai seorang laki-laki normal dengan segala macam permasalahannya jauh dari anak istri, wajarlah kalau ia mencari sedikit hiburan di luar rumah, aku bisa maklum dengan kondisinya itu, tapi tidaklah demikian dengan istriku. Semuanya bermula dari sebuah kecurigaan, istriku merasa bahwa Andy tak mungkin lembur setiap hari. Suatu kali iseng-iseng istriku bertanya padanya pada waktu kami sama-sama sedang sarapan pagi, “Semalam lembur lagi ya Dik Andy?” tanya istriku tiba-tiba.
Rupanya Andy kaget sekali dengan pertanyaan yang mendadak itu dan membuatnya tersipu kemalu-maluan, “Hmmm nggak kok Mbak cuma jalan saja sama teman,” jawabnya kagok.
“Oooo…” untunglah istriku cukup tanggap dan tak berniat memperpanjang pertanyaannya sekalipun aku tahu bahwa rasa ingin tahunya begitu kentara lewat ekspresi wajahnya.
Dan rupanya betul saja malamnya sepulang kerja istriku kembali mengungkit masalah itu, ”Mas kau tidak boleh diam saja!“ ucapnya tiba-tiba.
“Apa maksudmu?” tanyaku bingung diterpa pertanyaan yang tak aku ketahui ujung pangkalnya itu.
“Nggak usah pura-puralah…ya soal adikmu itu!” katanya kesal.
“Memang kenapa si Andy?” meskipun aku mulai memahami arah pernyataanya tapi aku tetap saja berpura-pura bego.
“Ah kau ini masih saja mengelak…” katanya lagi dengan nada bertambah kesal, ”Kan kau tahu ia tiap hari pulang larut nggak ketahuan ke mana, alasannya saja pergi sama teman, kalau temannya itu cewek bagaimana?” katanya lagi dengan nada sewot.
“Lha mau gimana? kan dia itu sudah dewasa sudah tahu mana yang baik mana yang jelek!” jawabku sekenanya.
“Dasar kau juga sama saja, kalian itu lelaki nggak berperasaaan sudah punya anak istri masih saja melakukan hal yang nggak bertanggungjawab” istriku jadi marah.
“Terus maumu bagaimana?” jawabku tak kalah keras, “Aku memang males ngurus urusan pribadi orang lain sekalipun itu urusan adikku sendiri!”
“Ya kasih tahu kek bagaimana begitu, kamu kan kakaknya, apa nggak kasihan sama Dik Ratri?” muka istriku mulai merah padam rupanya ia mulai marah betul. Aku jadi blingsatan sendirian, hanya gara-gara masalah begini semuanya jadi runyam.
“Ya kalau maumu begitu nanti aku sampaikan, nggak usah pakai marah-marah,” jawabku kesal untuk memutuskan pertengkaran itu, tapi istriku rupanya belum puas.
“Jangan cuma ngomong tapi kasih tahu juga kalau dia itu sudah punya anak istri, mestinya dia itu punya tanggung jawab.”
“Lho kau koq marah segitunya kan belum terbukti kalau dia main cewek di luaran,” balasku dengan sewot pula.
“Ya jelas tho mau bukti apalagi? laki-laki kan dimana-mana kucing kalau tidak ya buaya!” jawabnya sambil melengos.
“Kamu jangan sembarangan ngomong, berarti kamu nuduh aku juga?” kataku masih berusaha menahan emosi, tapi ucapan istriku itu sudah keterlaluan dan aku tak bisa menerimanya begitu saja.
“Ya terserah kau, kalau kamu mau ikut main-main hari ini juga aku akan pulang ke rumah Bapak!” jawab istriku hampir mau menangis rupanya emosinya sudah mencapai titik kulminasi.
“Wah sudah toh Jeng, ngak perlu seperti itu, kita kan bisa ngomong baik-baik tidak asal tuduh tidak asal marah…” kataku coba meredakan suasana.
“Ya terserah kamu aku cuma mewakili perasaan Dik Ratri, aku juga wanita Mas aku tahu sekali bagaimana rasanya ditinggal suami!” dan Ajeng istriku tak sanggup lagi membendung perasaannya kulihat air mata sudah mengalir di pipinya.
“Sudahlah kau tak perlu sampai menagis seperti itu besok aku ngomong sama Andy sekarang kita tidur ya?” kataku lembut merayu hatinya, dengan segera kutarik istriku ke dalam pelukanku dan membimbingnya ke dalam kamar.
***
Tapi rupanya keadaan sudah berkembang sedemikian rupa lebih sulit dari yang aku duga semula. Andy memang sedang dekat dengan seorang gadis teman kerjanya, dan ini benar-benar hal yang mengagetkan diriku, setelah aku desak terus menerus akhirnya ia pun mengaku, “Yah apa boleh buat Mas, aku kan juga butuh perhatian, kesibukan pekerjaan yang itu-itu saja telah membuatku suntuk, bagaimana aku bisa tahan didera kesepian terus menerus? dan bukan salahku kalau ada seseorang yang mau peduli pada diriku apakah harus aku sia-siakan begitu saja ?” kata Andy dengan mimik memelas.
“Ya…tapi kau harus ingat kalau kau sudah punya anak dan istri di Semarang,” kataku mencoba searif mungkin.
“Ya Mas aku paham, tapi aku harus bagaimana? aku nggak tahan harus begini terus menerus, sementara Ratri belum bisa pindah ke Jakarta,” jawabnya lemah, ”Dan kebutuhan ini betul-betul sudah tak bisa lagi aku tahan Mas, aku nggak sanggup… aku bisa mati kering kehausan Mas!”
“Apa tak bisa kau salurkan dengan cara lain?” kataku menyelidik.
“Wah Mas sih bisa ngomong begitu, tapi coba saja Mas Baskoro jalani sendiri sanggup apa tidak?” tanyanya membalikkan pertanyaanku, dan itu membuatku berpikir lama sekali.
“Seharusnya ada cara yang lebih baik Dik, jangan sampai menyusahkan dirimu sendiri dan menyeret anak istrimu,” kataku lagi ,”Kalau perlu sering-seringlah pulang ke Semarang.”
“Wah itu jelas tidak mungkin Mas, pekerjaanku jelas tidak memungkinkan.”
“Ya satu-satunya jalan kau harus keluar dan balik ke Semarang, toh tabunganmu cukuplah untuk memulai buka toko kecil-kecilan,” kataku mencoba mencari solusi.
“Tidak segampang itu Mas, karirku sudah mulai bagus, aku justru berharap suatu waktu nanti aku bisa memboyong Ratri dan Kevin ke Jakarta,” katanya optimis.
“Ya, tapi sampai kapan kamu begini? Sampai Ratri dengar penyelewenganmu dan perkawinanmu hancur berantakan?” tanyaku kesal.
“Ya itulah Mas, aku akan mulai mengerem mulai sekarang, tapi kuharap dukungan dari Mas juga,” jawabnya sambil memandangku meminta persetujuan.
“Dukungan bagaimana maksumu?” tanyaku heran.
“Ya jangan sampai masalah ini bocor hingga ketahuan Ratri,” katanya polos.
“Wah aku nggak bisa janji, soalnya Mbakyumu sudah curiga,” kataku berhati-hati.
“Wah jangan sampai Mbakyu tahu Mas bisa berabe…” jawabnya kuatir.
“Ini konspirasi namanya…” kataku tertawa.
“”Bukan begitu Mas ini demi kebaikan Ratri juga, kalau ia tak tahu ia tak perlu kuatir,” kata Andy enteng.
Aku sebal sekali dengan sikapnya itu tapi aku tak bisa apa-apa,“Ya terserah kaulah, kau yang menjalani, jadi semua tergantung dirimu sendiri.”
***
Sepertinya usahaku untuk memberi sedikit nasehat kepada adikku telah menemui kegagalan aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan yang jelas aku sudah menyampaikan keberatan istriku dan mulai hari itu aku akan berlagak sebagai orang bego, tapi rupanya istriku mengendus taktik yang aku jalankan diam-diam.
“Mas ..” katanya suatu kali, “Bagaimana kau sudah ngomong sama si Andy?”
”Sudah,” jawabku pendek.
“Terus?” tanyanya penasaran
“Ya sudah begitu saja.”
“Koq begitu?” ia makin penasaran.
“Ya mau apa lagi?”
“Cerita kek bagaimana cara kamu ngomongnya, terus bagaimana tanggapannya?”
“Ya begitu pokoknya aku sudah sampaikan!” jawabku ketus.
“Wah ini akal-akalanmu lagi, pasti tak kau sampaikan seperti yang aku minta!”
“Sudah…sudah aku sampaikan, tanya saja sendiri sama Andy kalau kau tak percaya,” jawabku sekenanya.
Istriku tampak mangkel tapi jawaban itu ternyata cukup efektif membuatnya mati kutu. Selama beberapa hari ia tak menyinggung-nyinggung soal si Andy, tapi begitu memasuki hari kelima rupanya ia tak mampu menahan diri lagi.
“Mas..” katanya lebih keras dari nada bicaranya yang biasa, aku mulai merasa ia pasti akan mengungkit masalah itu lagi.
“Ya kenapa?” tanyaku enteng.
“Tak kau perhatikan si Andy mulai pulang larut malam lagi,” tanyanya dengan nada kurang senang.
“Ya memang kenapa?”
“Kan aku sudah bilang kau harus kasih tahu adikmu!”
“Kan aku juga sudah bilang kalau aku sudah kasih tahu dia!”
“Iya tapi koq dia masih begitu juga?”
“Ya itukan terserah dia, orang dia itu manusia merdeka.”
“Tapi aku tak suka dengan cara dia bermain di belakang istrinya.”
“Ya kalau begitu kau saja yang kasih tahu dia!”
“Lho kau kan kakaknya sudah kewajibanmu kasih tahu si Andy kalau ia salah.”
“Lha kau kan iparnya, kau juga berhak, jadi kau saja yang ngomong!”
“Dasar kalian sama saja!”
Istriku masuk ke kamar dengan muka masam, tapi setidaknya aku tak perlu lagi beradu mulut dengannya dan diganggu dengan segala tetek bengek yang memusingkan kepala itu, tapi rupanya perkiraanku meleset istriku menjalankan taktik yang lain lagi, sesuatu hal yang sama sekali tak aku duga sebelumnya. Aku tak menyadari bahwa ia sesungguhnya segan menegur Andy secara langsung atau menyampaikan kecurigaannya itu kepada Ratri tanpa menimbulkan perang besar jadi terpaksa ia melakukan perang gerilya dan akulah yang jadi sasarannya. Semenjak percakapan kami malam itu ia tak mau lagi aku sentuh, setiap kali aku mengajaknya bercumbu ia selalu menolak dengan berbagai alasan, sekali dikatakannya sakit kepala, lain kali dikatakannya masuk angin, lain kali lagi ia bilang mengantuk, begitu terus berulang kali. Selama seminggu aku masih bisa bertahan begitu pula waktu memasuki minggu ke dua, tapi begitu melewati minggu ketiga harga diriku pun serasa dicabik-cabik.
“Jeng, kita nggak bisa begini terus,” kataku suatu malam.
“Maksudmu?”
“Ya itu, kau tak bisa menolakku terus-terusan!” kataku tak sabar.
“Siapa bilang?” katanya dingin.
“Wah ini sudah keterlalauan!” kataku sewot.
“Ya terserah kau.”
“Apa maksudmu terserah aku?”
“Kalau kau mau mengikuti jejak adikmu terserah saja bukankah kalian sama saja?” katanya enteng.
Aku betul-betul tersinggung tapi aku tak bisa apa-apa selain menelan harga diriku, sementara si Andy sungguh tak tahu diri masih saja meneruskan aksinya pulang larut malam. Malam itu juga aku memutuskan untuk berbicara dengannya dan aku terpaksa menungguinya di depan televisi. Pukul 1 dini hari lewat ia baru pulang.
“Tumben Mas jam segini belum tidur?” tanyanya dengan ekspresi cengar-cengir.
Aku sudah marah sekali dan segera saja kusemprot dirinya, ”Ini semua gara-gara kau!” kataku masam lalu kuceritakan semua aksi mogok yang dijalankan istriku dan reaksi Andy sungguh di luar dugaan.
“Ha…ha..ha Mas rasakan sendiri sekarang baru tiga minggu saja sudah blingsatan, saya sudah satu setengah tahun Mas, satu setengah tahun saya menahan diri! Jadi benar kan kata-kata saya, ini bukan soal moral, ini soal kebutuhan!” katanya dengan nada penuh kemenangan.
Aku terhenyak dengan omongan Andy, “Tapi itu tidak berarti jadi pembenaran bagi kita untuk berbuat yang tidak-tidak Dik”
“Ya itu kembali pada masing-masing orang Mas, terserah Mas saja, sekarang Mas mau mengikuti permainan Mbakyu atau mau mengikuti kata hati Mas?”
“Sontoloyo kau, bukan begitu caranya Dik itu namanya gila-gilaan, kalau menggampangkan masalah macam begitu. Sinting! kamu benar-benar sudah sinting!”
“Ya kita lihat saja kalau Mbakyu bersikukuh nggak mau juga, apa Mas bisa? Coba Mas jalani saja sampai kapan Mas bisa bertahan?” kata si Andy sambil ngeloyor pergi dan aku cuma bisa garuk-garuk kepala, “Barangkali kalian tahu apa yang harus saya lakukan?”

Kuningan, akhir Mei 2004


Tamu

Wulan menengok ke luar ke arah jendela, ada perasaan teramat kuat yang mendorong dirinya untuk terus menerus mengawasi jendela itu di mana ia bisa memandang langsung ke arah pintu pagar besi depan rumahnya. Gerakan kepalanya tampak begitu anggun hampir seperti sebuah tarian. Sudah semenjak tadi ia merasakan seolah ada bayangan berkelebat dari sosok seseorang yang ia harapkan akan segera datang menghampiri pagar besi tempa bermotif bunga matahari warna merah bata di depan rumahnya. Berulang kali Wulan mencoba menangkap isyarat yang mengepung dirinya sejak beberapa hari lalu, isyarat yang hadir terus menerus di dalam mimpi dan menguntitnya seperti Bolen kucing belang telon kesayangannya. Sebuah perasaan yang aneh namun lama kelamaan rasa itu jadi begitu akrab dan tak sanggup ditepiskannya lagi.
Hingga hari beranjak siang namun pemandangan di luar jendela masih juga tak bergeming seperti sebuah lukisan beku, angin mati dalam nuansa warna kuning kecoklatan yang begitu kering, bayangan pohon mangga dan daunnya yang rimbun tak membuat teduh hati Wulan. Ia sebenarnya mengharapkan gerimis, namun itu mungkin akan memperlambat penantiannya, dan langit tak juga mendung. Matahari tengah hari begitu terik membakar batu-batu sepanjang tanggul di depan rumah, mengeluarkan asap mengepul seperti tarian bayang-bayang. Tak ada seorang pun melintas, juga kendaraan yang biasanya selalu berlalu-lalang sepanjang jam-jam sibuk siang itu telah hilang juga derunya entah kemana, bahkan ayam-ayam tetangga yang biasanya berkeliaran mencari cacing di halaman depan rumahnya tak seekor pun terdengar suaranya.
Udara gerah begitu menyengat tapi tatapan mata Wulan seolah terpaku tak juga bergeming menembusi bingkai kaca jendela kayu kamper yang di cat duco warna putih. Dalam ruang matanya seolah terbayang air terjun yang menerobos batu-batu gunung, mengalir jatuh dan pecah di dasar lembah dalam bentuk titik-titik air yang mengguratkan warna pelangi, tapi bayangan itu tak mampu menjelaskan misteri yang menggerakkan sel-sel biru yang berkelebat dalam benaknya. Sel-sel biru itu bergerak berloncatan berkejaran menyusun rangkaian ingatan dalam kilasan waktu yang berjalan lambat seperti sebuah film bisu dari masa yang telah lampau, masa kecilnya. Dan terbayang kembali sekian banyak kenakalan-kenakalan yang telah ia lakukan. Kenakalan yang terus berbekas hingga Wulan menginjak dewasa ketika ia mulai mengenal arti pacaran, sex dan pergaulan bebas serta tentu saja narkoba. Semua hal yang selalu memancing segala rasa ingin tahu seorang gadis remaja dengan hasrat besar untuk menemukan eksistensi diri sendiri.
Kilasan waktu itu membuatnya gelisah tapi ia tak mampu menepisnya begitu saja, seolah semua itu dijejalkan ke dalam pikirannya dan memaksanya untuk kembali menyusuri kembali kepahitan-kepahitan yang selama ini telah ia jalani. Barangkali seperti keluarga-keluarga lain yang bapak ibunya bercerai dan Wulan harus menghadapi persoalannya sendiri, begitu pula adiknya yang sering terlibat tawuran adalah sedikit dari sekian banyak kekecewaan yang harus ia telan semenjak muda usia. Waktu yang begitu pahit untuk dikenang menyeruak begitu saja dan sejenak ia tersergap oleh melankoli. Ia ingin menangis tapi tidak sekarang tidak dalam saat seperti ini, saat di mana ia justru harus kelihatan tegar untuk dapat menemui seseorang, orang yang mungkin akan merubah waktunya yang tinggal sedikit saja tersisa.
Ada musik yang berdenting dalam telinganya menjelajah bilah-bilah nada merasuki kalbunya seperti dinginnya lantai marmer yang merembes ke telapak kakinya yang diam-diam menggigil, musik itu musik yang lembut seperti sebuah walsa dan bukannya musik hingar bingar yang selalu didengarnya bersama teman-teman dugem-nya selama ini. Aneh sekali ia tiba-tiba jadi menyukai musik lembut itu padahal dulu ia paling antipati dengan musik berselera tua macam demikian, entahlah mungkin waktu memang sudah berubah, mungkin saja ia telah beranjak dewasa dan mulai bisa memikirkan hal-hal yang lebih berguna. Ya bila saja masih ada waktu mungkin ia bisa memulai sesuatu yang baru, yang berbeda sama sekali dari hidupnya yang telah lewat, memilih kawan bergaul yang berbeda, memasuki lingkungan yang berbeda pula dan mungkin juga ia akan meneruskan kuliahnya yang terbengkalai selama ini dan tak perlu lagi menyandang gelar ayam abu-abu di kampus seperti ejekan orang-orang yang membenci dirinya selama ini.
Tidak, Wulan tidak sedang melamun atau mengkhayalkan sesuatu, pikirannya tidak kosong, ia memang tengah menunggu…dan ia sudah menunggu semenjak pagi bahkan semenjak subuh menjelang. Ia sudah mempersiapkan diri mandi pagi-pagi sekali kemudian ia pun berbenah membersihkan kamar dan seluruh isi rumah, hal yang baru pertama kali itu ia lakukan dalam hidupnya, karena selama ini ada bibik yang selalu membenahi kamarnya, ternyata mengasyikkan juga, dan tentu saja selalu ada arti kata pertama kali untuk segala sesuatu bukan?
Hingga akhirnya berhasil juga ia selesaikan pekerjaan itu, bahkan kamarnya yang selama ini selalu berantakan oleh sekian banyak kaset dan compact disc yang bertebaran, tumpukan koran dan majalah, pakaian kotor, juga abu rokok dan puntung yang bertebaran di mana-mana semuanya telah ia enyahkan ke dalam bak sampah. Bahkan pagi itu ia telah melakukan suatu hal yang sangat istimewa yaitu mempersiapkan sejumlah hidangan yang mengundang selera, aneka masakan dengan resep istimewa dari mendiang neneknya satu-satunya anggota keluarga yang selama ini ia rasakan pernah hadir dekat dalam kehidupannya yang menjemukan, sampai kemudian nenek yang ia cintai harus pergi meninggalkan kepedihan yang lebih sakit lagi di dalam dirinya.
Namun pagi itu Wulan ingin melakukan sebuah perubahan, perubahan paling besar dalam hidupnya mungkin saja. Setelah selesai berbenah ia kenakan pula bajunya yang paling bagus sebuah gaun sutra dengan potongan sederhana berwarna putih melati dengan sedikit hiasan renda di bagian lehernya. Ia sudah mengikat pula rambutnya yang hitam panjang dan memasang sebuah penjepit rambut dari kulit kerang yang cantik. Ia kelihatan segar dan menawan, bahkan bila kau melihatnya pasti kau tak akan tahan untuk sedikit mencium pipinya yang kemerahan atau mengelus anak-anak rambut yang halus di tengkuknya. Sungguh sesuatu hal yang aneh, berbalik seratus delapan puluh derajat dari kebiasaannya selama ini, Wulan yang dulu kita kenal sebagai seorang gadis tomboi….tapi tunggu dulu mungkinkah ia masih seorang gadis? Ya tentu saja kalau kita tidak menyangsikan keperawanannya bukan? Selama ini Wulan selalu berpenampilan urakan dengan jeans belel dan tubuh kerempengnya tak pernah lepas dari balutan kaos tanktop ketat dan rokok putih selalu menempel di bibirnya yang mulai kehitam-hitaman itu.
Pagi ini ternyata dapat juga ia merubah penampilannya menjadi seorang putri, hehehe…barangkali itu hal yang paling aneh dari tingkah Wulan akhir-akhir ini dan bakal membuat kita tertawa keheranan? Tapi nanti dulu jangan keburu tertawa, kita harus menghargai semua jerih payahnya bukankah ia telah berupaya keras membuat sebuah persiapan yang sempurna untuk menyambut kehadiran si tamu istimewa? namun mungkin saja, kau juga kepingin tahu siapakah tamu yang diharapkannya itu? hingga siang begini tak kunjung muncul juga batang hidungnya.
Wulan mungkin merasa sedikit gelisah, sekali pun ia masih berketetapan hati bahwa tamu itu pasti akan datang juga hari ini, ya hari ini! namun hari ini bisa berarti pagi, siang atau sore nanti, sebetulnya itu salah Wulan sendiri karena ia memang tak tahu pasti kapan tepatnya tamu itu akan datang, ia hanya mengandalkan pada firasat bahwa tamu itu pasti akan datang. Wulan mencoba menyabarkan dirinya karena toh baru tengah hari dan masih banyak waktu untuk menunggu, dan ia berniat untuk lebih menikmati musik yang semenjak tadi mengalun di telinganya, ya kenapa tidak? Ia tak perlu cemas, toh semuanya telah ia persiapkan dengan sempurna, tanaman di halaman telah ia siram sehingga udara sejuk terbawa juga masuk ke dalam rumah dan sebuah iringan musik yang syahdu akan membuat suasana rumah itu jadi semakin semarak. Meja-meja sudah tertata rapi tertutup taplak bersih yang baru habis di cuci, dan beberapa potong bunga segar telah pula ia letakkan di dalam vas bunga dari porselen yang cantik, lantai pun wangi tercium bau cemara dan korden-korden pun tampak bersih, semua tak ada kurangnya.
Wulan pun kembali mematut dirinya, sengaja ia sedikit berlama-lama di depan kaca di dalam kamarnya ada aroma bunga lavender meruap dari parfum yang baru disemprotkannya kembali ke tengkuk dan pergelangan tangannya, tentu saja ia harus beraroma wangi setiap kali. Ia ingin semua kelihatan sempurna begitu tamu itu datang ia tak ingin membuat tamu itu kecewa, oleh karena itu sekali lagi di semprotnya juga ruang tamu yang bersih itu dengan pengharum ruangan, kali ini aroma melati yang tercium. Dan ia pun kembali mengelilingi ruangan itu sekali lagi memeriksa barangkali ada sesuatu yang kurang, atau barangkali ada yang tidak pada tempatnya tapi semua terlihat sempurna dalam pandangan matanya. Diperiksanya kembali hidangan di atas meja makan, Wulan mendesah …”Ah hidangan itu pasti sudah dingin,” keluhnya, oleh karena itu buru-buru ia menuju ke gudang tempat menyimpan semua perkakas dan dikeluarkannya sebuah kompor listrik yang praktis tinggal colok, kemudian dihangatkannya kembali makanan yang terhidang di meja itu.
Kini semuanya sudah pas sudah sempurna, tinggal menunggu kehadiran sang tamu. Namun lama menunggu akhirnya membuat hati Wulan jadi makin gelisah, demi saat-saat yang paling berarti dalam hidupnya, saat yang paling ia tunggu mungkin sekali seumur hidupnya, dan ia tak ingin membuat sebuah kesalahan sekecil apa pun, “Tidak…tak boleh ada kesalahan kali ini, atau aku akan menyesal,” batin Wulan mendesah.
Kembali ditengoknya jendela lalu balik lagi ke dalam untuk melihat jam di dinding dapur, “Hemm…sudah jam 2 lewat sekarang, jam makan siang sudah terlewat juga…ahh!” Wulan merasakan perutnya jadi perih. Ia memang sengaja tak makan semenjak pagi, terlalu bersemangat menghadapi hari istimewa itu sampai lupa sarapan, mau tak mau dipungutnya juga sepotong tempe dan dikunyahnya pelan-pelan, tapi tempe itu jadi tak terasa nikmatnya padahal perutnya sudah lapar bukan main, buru-buru diambilnya segelas air putih dari dalam lemari pendingin dan diteguknya sampai habis.
Wulan mulai dihinggapi rasa kecewa, “Jangan-jangan ia tak datang hari ini, ah tak mungkin…” Wulan menepis kecemasan dalam dirinya, Kali ini di comotnya sebuah pisang dan dikupasnya dengan tergesa seperti hendak ditelannya pisang itu tanpa mengunyahnya lagi. Wulan benar-benar mulai merasa kesal, ia mulai merasa dipermainkan.
“Tak mungkin kalau ia sampai tak datang …aku harus lebih bersabar sedikit, aku masih punya cukup waktu,” katanya membatin, dan ia pun mondar-mandir saja dari dapur ke ruang makan, terus ke ruang tamu, menengok ke teras depan rumah lalu ke jalan di luar yang mulai teduh, matahari sudah tak segarang tadi, tapi hati Wulan kian rusuh, musik sudah lama tak berdenting lagi di telinganya, sudah berganti dengan dentuman-dentuman rasa kecewa dari dalam dadanya. Waktu merangkak seperti keong hingga pukul 5 lewat sedikit akhirnya ada seseorang yang tiba-tiba melintas dan berjalan terseok ke arah pagar rumahnya, seorang wanita tua dengan baju lusuh lebih menyerupai seorang gembel tukang minta-minta. Wulan buru-buru berdiri dan membuka pintu pagar.
“Permisi Neng…” tegur wanita tua itu memperdengarkan suaranya yang demikian kering sekering bibirnya yang pecah-pecah.
Wulan tak menjawab sapaan wanita tua itu, ia balik lagi ke dalam rumah untuk mengambil dompetnya, dikeluarkannya segera selembar ribuan dan diserahkannya kepada wanita tua itu. Namun diluar dugaan Wulan wanita tua itu tak segera menyambut uang yang disodorkan kepadanya.
“Lho kenapa nenek nggak mau terima?” tanya Wulan dengan herannya.
“Saya kemari tidak untuk minta-minta,” jawab wanita tua itu masih dengan suaranya yang kering.
“Lho…terus untuk apa?” rasa heran kian menyeruak dalam diri Wulan.
“Saya kemari karena sayalah tamu yang engkau tunggu!” jawab wanita tua itu dengan mimik serius.
Wulan terkesiap sejenak, sungguh tak diduganya bahwa tamu yang ditunggunya berwujud sedemikian rupa jauh dari bayangannya semula, hal itu menimbulkan keragu-raguan dalam dirinya.
“Benarkah nenek…yang harus datang menjemput saya?” tanyanya tak yakin.
“Ya akulah yang engkau tunggu!” jawab nenek itu tegas.
“Tak mungkin!” Wulan menunjukkan ekspresi tak percaya.
“Kenapa tidak? Apakah penampilanku tak seperti yang engkau bayangkan? Apakah kau kira aku akan datang sebagai seorang pria tampan dengan baju perlente?” nenek itu mulai marah.
Wulan terhenyak, untuk beberapa lamanya ia tak mampu berkata-kata, “Ti...tidak… saya hanya tak menyangka bahwa yang akan menjemput saya ternyata nenek,” jawab Wulan tergagap.
“Tak apa-apa anak muda aku sudah biasa mengalami hal semacam ini, semua orang selalu mengharapkan yang bagus-bagus tentang diriku, padahal mereka tak pernah mengerti,” nenek itu manggut-manggut.
“Lalu…?” Wulan kebingungan dan mulai kehilangan akal.
“Tak apa-apa, aku juga tak mau berbasa-basi!” jawah wanita tua itu pendek.
“Kita bisa pergi sekarang?” tanyanya cepat dengan nada sedikit memaksa.
“Tapi aku sudah mempersiapkan masakan istimewa untukmu,” balas Wulan masih dengan kebingungannya.
“Tak perlu anak muda aku sudah kenyang!” kata wanita tua itu sambil memamerkan giginya yang kehitam-hitaman.
“Tapi setidaknya kau beristirahat dululah,” kata Wulan lagi dengan sungguh-sungguh, “Kau pasti capai sekali setelah berjalan jauh.”
“Tidak anak muda aku sudah terbiasa dan kita sudah kehabisan waktu!” nenek itu bersikeras.
“Tapi aku belum mau pergi sekarang,” Wulan tiba-tiba ingin menangis, “Aku…aku belum siap…” dan tiba-tiba air mata pun mengalir dengan deras dari mata Wulan.
“Hi…hi…hi, kau sudah siap anak muda, coba kulihat, bukankah kau sudah mengenakan gaunmu yang paling bagus dan kau tak memerlukan apa-apa lagi? Ayolah aku sudah tak bisa menunggu lagi!” kata nenek itu tegas.
“Tapi….aku tak mau pergi denganmu…!” Wulan menjadi histeris.
“Ya…ya, selalu begitu tak ada yang mau pergi dengan wanita tua seburuk aku…tak apa-apa anak muda, tapi aku bisa meminta orang yang lebih buruk dariku untuk datang menjemputmu, bagaimana? wanita tua itu terkekeh, “Hi..hi..hi, ya aku bisa minta dikirim seorang gali tukang perkosa datang kemari…hi..hi..hi tentu kau akan suka sekali”
“Tidak…tidak! aku tak mau mati sekarang…tidak sekarang! demi Tuhan jangan bawa aku sekarang…aku mohon,” Wulan menangis menghiba-hiba.
“Maaf, waktumu sudah habis! dan kita harus pergi sekarang!” wajah nenek itu menjadi geram ada nada kemarahan dalam suaranya, dan serta merta dicengkeramnya tangan Wulan, tangan itu begitu kuat menjepit pergelangan tangannya menimbukkan rasa ngilu yang merasuk hingga ke dalam dadanya.
Wulan ingin menjerit tapi tak ada yang dapat keluar dari bibirnya, ia berusaha berontak, ditariknya tangannya sekuat tenaga, dan bahkan coba dipukulnya wanita tua itu dengan tangannya yang satunya lagi tapi wanita tua itu tak bergeming keras seperti batu. Wulan meronta-meronta sekuat tenaga ditendang dan dijambaknya rambut putih penuh uban milik wanita tua itu tapi nenek itu tak peduli seolah ia tak punya lagi rasa sakit, hingga akhirnya Wulan tak mampu lagi melawan seluruh tubuhnya lungkrah tanpa daya tak ada lagi kekuatan dalam dirinya untuk berontak ia hanya bisa pasrah dan wanita tua itu menyeretnya dengan gampang seperti menarik sebuah karung yang berisi kapas.
***
Napas Wulan tersengal-sengal beberapa kali, mama dan papanya dan juga adik-adiknya yang berjaga di luar kamar terlihat cemas. Mereka telah menungguinya sejak kemarin malam saat ia diketemukan di kamarnya dalam keadaan nyaris mati over dosis, mata mendelik, bibir berbusa dan tubuh kejang-kejang. Mereka buru-buru membawa Wulan ke rumah sakit dalam kondisi nyaris tanpa harapan selama beberapa jam ia mengalami koma, membuat keluarga itu diliputi perasaan cemas yang luar biasa. Mereka hanya bisa menangis, dan tak putusnya berdoa agar Wulan diberi kesempatan hidup lebih lama. Sementara beberapa orang dokter telah berusaha mati-matian memacu jantung Wulan agar tetap berdegup tapi rupanya tangan takdir telah menentukan lain dan alat penunjang kehidupan yang dihubungkan ke tubuh Wulan itu kian lama kian lemah menunjukkan tanda-tanda yang sama sekali tidak mereka harapkan hingga akhirnya jantung Wulan berhenti berdegup untuk selama-lamanya.

Kuningan, Mei 2004

Friday, May 21, 2004

Buku Harian Mimin

Aku membenci malam seperti aku membenci ibu, aku membenci malam seperti aku membenci diriku, tapi malam ini aku mencintai ibu seperti aku mencintai kebebasanku.
Rumahsetan, 13 januari 2004

***
Hari yang membosankan, seperti tak ada kata-kata lain yang dapat mengisi kepalaku, laki-laki basi datang dan pergi memasang gergaji di kemaluanku, mulut sudah jadi tawar dari keinginan untuk memiliki diri sendiri, pikiran begitu sibuk oleh gincu, bedak, lulur dan minyak wangi, mengapa semua ini mesti ditumpahkan padaku, sedang badan tak punya tempat buat angan-angan? Hasrat yang lelah untuk berbagi dari diri yang asing, dan aku demikian rindu pelukan ibu…oh ibu, kenapa kau berhenti jadi ibuku? Kenapa?.
Pikiranku mendengung oleh bunyi televisi yang membeku dan kemarahanku gemetar mengusir mimpi dan harapan seperti pompa air yang mengalir lewat pipa-pipa yang kosong, menyumbat hidung, menyumbat tenggorokan, menyumbat dada, menyumbat perut, menyumbat kemaluan, menyumbat wastafel dan jamban juga. Sudah habis tangisku dari hari pertama ibu menjual permataku kepada laki-laki yang bukan kekasih hatiku. Batin jadi begini rapuh ingin menyakiti diri sendiri, dan mulut pun makin kering, tawar oleh hasrat hidup yang padam. Hanya angan-angan yang melayang sepi sendiri kemana saja asal bukan rumah, rumah yang penuh bau mayat, rumah orang-orang mati, tapi biar hasrat ini tandas aku akan tetap tegak berdiri sampai dendam ini terbalas.
Rumahsetan, 7 Januari 2004

***
Kubaca tangisku selebar majalah misteri yang sudah lama basi, memberiku sejenis bacaan perintang waktu sambil menunggu kedalaman masa demikian beku. Apalah nikmatnya menunggu laki-laki yang itu-itu juga? Mereka tak peduli dengan hatiku, mereka cuma peduli tubuhku dan aku juga tak peduli siapa mereka, aku cuma butuh uang buat menyumbat mulut-mulut zombie yang rakus di rumah setan ini.
Sesungguhnya aku telah terpedaya oleh tipu muslihat ini, setiap menghadapi wajah-wajah beku para lelaki brengsek yang menciumi tubuhku aku telah jadi orang lain. Setiap kali harus kupasang topeng kepalsuan di wajah resahku, dan menjalani siksaan demi siksaan sebagai sebuah rutinitas yang membelenggu diri. Detik-detik menjelma lonceng yang akan menguburku hidup-hidup. Aku cuma bisa menumpahkan perih dan pedihku pada lubang closet yang menganga. Betapa ingin kuhajar wajah-wajah beku itu dan kutikam jantung ibuku dengan kata-kata paling mesum, tapi apalah artinya kata-kata kalau hatiku meradang oleh gigitan benci.
Rumahsetan, 8 Januari 2004

***
Malam ini telah kutetapkan hati, sekali pun jiwaku tercekik oleh perasaan was-was. Setan telah mencengkeram leherku seperti hantu kematianku sendiri, aku sudah menandatangani perjanjian dengannya yang tak dapat kucabut kembali. Di bawah bayang-bayang malam aku berjalan seperti terbawa mimpi, tonggak-tonggak batu di atas tangga menuju kamar ibu telah jadi sekumpulan gergasi yang menyemangati diriku. Kebebasan! Saat ini adalah penemuan kembali arti kekecewaan, dia yang selalu menyebutku babi! anjing! atau sampah tak berguna! Benih-benih kemarahan telah tumbuh lebat di kepalaku menjelma sulur-sulur liar yang tajam melibas, menyadap semua api dendam yang memenuhi relung-relung kebencian.
Rumah setan ini telah jadi kuburan yang resah, angin khianat menggigit gelisah menusuk-nusuk kepalaku serasa mau pecah. Aku sudah muak dengan rumah ini, juga dengan kongkalikong busuk yang membuatku terikat dengan rumah setan ini, dan hantu-hantu kian merajalela, dengar saja nyaring tawanya, meleleh nafsunya, dan luar biasa menyebalkan tingkah polahnya, aku sudah muak! aku sudah muak! tapi mengapa tanganku menggigil begitu hebat?
Rumahsetan 12 Januari 2004

***
Bebas! teriakan garang melewati kamar ibu yang berkarat dan bau amis darah yang menodai tangan dan gaunku, sekali lagi bebas! Aku tak peduli erangan hantu-hantu menyerbu telingaku, memenuhi lantai atas dengan dengus kelojotan malam yang tengah sekarat dan dua pasang mata bapak yang rapuh, penuh tanda tanya dan kengerian. Mengapa masih ada yang belum tidur di malam selarut ini, bangsat sialan!
Persetan dengan mata bapak yang menggigil bisu di depan pintu dan asap dari api neraka yang membuat kepalaku nanar, aku sudah terlanjur menikam malam dengan pisau dendam yang paling tajam dan aku tak pernah menyesal, karena aku sudah merdeka! Biar aku terbahak, terbahak sekencang-kencangnya. Aku belum pernah tertawa sepuas ini, karena semua orang tak berhak lagi mengungkung kebebasanku, tidak juga bapak! dan para lelaki bajingan itu!
Setiap tetes darah yang kureguk dari jantung ibu, adalah tetes air susu yang tak pernah kureguk, mata yang garang menetak kepala, wajah, dada, payudara, dan kemaluanku. Bilur-bilur penat yang tak pernah menyuruhku berhenti kerja melayani segala macam laki-laki. Bahkan saat malam sekarat, masih saja ia malas menerjemahkan gelap dan di setiap erang kematiannya kunikmati orgasme erangan semua laki-laki dalam setiap tetesan duri-duri yang ia tumpahkan ke dalam rahimku.
Aku membenci malam seperti aku membenci ibu, aku membenci malam seperti aku menbenci diriku, tapi malam ini aku mencintai ibu seperti aku mencintai kebebasanku.
Rumahsetan, 13 januari 2004

***
Bapak bukan siapa-siapa, selama perih pedih hidupku ia tak pernah menerakan jejaknya di lembaran catatanku, ia tak pernah menunjukkan dirinya sebagai apa atau siapa, ia tak lebih kecoa yang lari setiap mata garang ibu mendelik, dan ia tak lebih dari parasit yang cuma bisa kerja kalau disuruh. Dan setiapkali ibu melecut punggungku atau menampar mukaku ia hanya diam terpaku di pojok kamar dengan wajahnya yang membatu, atau paling jauh ia akan pergi ke dapur, dan entah apa yang dilakukannya di sana.
Tapi semalam entah apa yang dipikirkannya, ia menuntunku ke kamar mandi dan mengguyurku dengan berpuluh-puluh gayung air setelah melucuti gaun penuh noda darah yang aku kenakan dan membakarnya di belakang rumah. Dan pagi ini aku terpaksa sekali lagi harus mencatat namanya sebagai bapakku, sebelum polisi datang ia pergi menyerahkan diri sambil membawa bungkusan parang sebagai bukti. Aku cuma meraba-raba apa yang sedang ia pikirkan, karena sebelum berangkat ia hanya mengucapkan sepatah kata bahwa ia akan menanggung semua dosa-dosaku. Tak ada kata perpisahan keluar dari bibirnya, entahlah aku tak tahu apakah aku harus berterimakasih atau justru harus membencinya.
Rumahsetan, 14 Januari 2004

***
Apa yang aku lihat di jendela? Apakah Ibu sudah menjelma setan? Waktu menjelaga di bingkai kaca, malam buta membuat gerimis, ada mata merah yang marah di beranda menangisi sepotong jari kelingkingnya yang hilang… dan aku cuma bisa tertawa, karena telah kumiliki kembali tanda mata paling permata cincin mirah kekasihku, seluruh hasil jerih payahku.
Rumahsetan, 15 Januari 2004

***
Entah mengapa aku tiba-tiba mengingat bapak yang menangis lagi setelah lama tak kuhampiri, mungkin ia sedang menangis juga sekarang dalam kurungan penjara, seperti ingin mengubur ibu buat kedua kali. Aku jadi naik pitam, seharusnya aku yang jadi lelaki di rumah ini dan bukan bapak. lelaki impoten! lelaki paling pengecut yang pernah kukenal. Biar tahu rasa dia membusuk dalam penjara.
Rumahsetan, 16 Januari 2004

***
Tanggal 17 Januari 2004, polisi menemukan sepotong jari dan sebuah cincin yang bebercak noda darah kering, terbungkus sebuah sapu tangan warna merah dan sebuah buku harian bersampul kulit warna hitam dalam lemari di kamar Mimin. Hari itu juga di bawah tatap mata para tetangganya di kompleks pelacuran, Mimin di bawa petugas ke markas polisi untuk menjalani pemeriksaan.
Seseorang dalam kerumunan orang ramai masih sempat berkata pada teman di sebelahnya, “Dasar pelacur, masih juga tega membunuh ibu sendiri!”

Jakarta 8 April 2004





Perahu Kertas

Aku menyusuri tepi jalan menuju rumah kostku, beberapa kali kendaraan mewah melintas tak mengacuhkan rembulan sungsang di puncak malam. Di depan persimpangan masuk ke dalam gang yang sempit dan becek kudengar suara desah yang menghuni warung-warung kumuh dan orang-orang yang sibuk berlalu lalang berebut mengisi piring dan gelasnya dengan semacam kepuasan semu lalu mereka menyantapnya seperti anjing yang kelaparan. Aku tak tahu apa yang mereka cari selain harapan dalam setumpuk kartu ceki yang mereka banting di meja sejak sore gerimis Ada juga yang menenggak arak kezaliman dan mengosongkannya sampai tandas bersama bangku-bangku reyot yang mabuk darah
Dari tembok-tembok berlumut sepanjang gang itu masih kudengar suara desah barangkali erangan seorang perempuan entah nikmat entah kesakitan dan di depan persimpangan gang terakhir menuju rumah kost tempat aku tinggal aku melihat Ratri berdiri dengan gaya menantang, tangannya melambai pada seorang laki-laki yang tengah melintas, “Hei, apakah kau punya duit, ayolah nggak mahal kok?” serunya sebasah gerimis ditelingaku
Aku menghentikan langkahku untuk menatap wajahnya yang terlihat samar di bawah temaram lampu pinggiran jalan. Ratri, gadis itu tetangga yang tinggal di sebelah kamar kostku berwajah manis menawan dengan bibir merah maroon, tubuhnya yang sintal melenggok gemulai menonjolkan gerak buah dadanya yang penuh dalam balutan tanktop warna merah muda, dan ia tak malu mengakui dirinya lebih cantik dari rembulan di langit kelam. Gigi putih itu kembali tertawa pada laki-laki yang melintas dan sejenak berhenti “He ayolah, kau pasti punya duit kan?” tanyanya lagi, “Kau tentu tahu, aku lebih mengenal lelaki dari siapa pun!” serunya dan kemudian ia mengerling sekilas sambil menarik tangan lelaki itu, “Boleh di kamarmu, atau di mana saja juga boleh…” dan ia tertawa renyah, tak memberi sedikitpun kesempatan pada laki-laki itu untuk menawar. Lelaki setengah baya itu menurutkan langkah Ratri seperti seekor kerbau dicucuk hidung seolah telah dipenuhi hasrat untuk melumat bibirnya yang kemerah-merahan.
Aku tahu gerak pinggulnya begitu menggelitik, goyang dada itu begitu menggoda sehingga hasrat siapa pun pasti akan segera menjadi lumer oleh manis senyumnya dan wajahnya yang putih tersipu sekilas berlagak seperti anak gadis baru kemarin sore yang telah lama dipingit, sebuah sikap yang pasti akan meruntuhkan hati setiap lelaki. Lelaki sepertiku juga, sekali pun aku tahu pasti bahwa Ratri tengah mengenakan topeng yang sama sekali berbeda dari kesehariannya. Tak semua orang tahu bahwa dibalik renyah tawanya sesungguhnya ia tak pernah merengkuh kebahagiaan, setidaknya itu yang bisa aku baca dari kehidupannya sehari-hari, dan orang yang mengenal Ratri pasti akan mengenali pula nada kegetiran itu dalam suaranya yang sumbang.
Kudengar kembali suara Ratri yang tertawa cekikikan, “Ya..ya, aku mendengar kau, aku mendengar kau bernyanyi seperti sajak.” Begitu lagaknya merayu calon mangsanya, dan lelaki mana yang tidak melambung oleh gaya tertawanya yang merangsang.
Dalam kenyataan siang hari Ratri bukanlah gadis seronok yang senang menggoyangkan pinggulnya mengikuti iringan irama musik dangdut dari radio penjaja rokok di sudut jalan, tapi bagaimanapun harus kuakui bahwa dompet siapa pun akan bergetar setiap kali ia mengerling, dan pada setiap laki-laki ia akan berkata malu-malu “Aku seorang perempuan tulen! Hei…serius jangan tertawa!” katanya, dan wajahnya akan tampak semakin cantik saat pura-pura mendelik marah.
Dan para lelaki yang telah terpukau oleh jerat yang ditebarkannya akan turut tertawa seperti ringkik kuda, berebut menghirup nafasnya, menghirup kerlingnya, harum rambutnya, tubuhnya juga. Dan dari kejauhan aku berdiam diri memandangnya dengan memendam sepotong rasa nyeri yang lindap ke dalam dadaku sampai kemudian kulihat ia berlalu bersama sebuah mobil yang tiba-tiba berhenti di persimpangan jalan. Ratri pergi bersama seseorang entah siapa, dan berlalulah pula sepotong bibir indah berwarna merah maroon dari hadapanku, meninggalkan sepotong kesedihan menggenang dalam sudut hatiku.
Masih ada bayangan Ratri dalam hirup nafasku, juga dadanya yang padat, juga pinggulnya yang penuh, kerling matanya dan bibirnya yang kemerah-merahan tertawa, demikian renyah demikian merdu berlagu di telingaku, “Hei aku seorang perempuan tulen!”
Entah mengapa aku jadi disergap melankoli, sebuah rasa simpati untuk gadis itu, karena aku tahu dibalik senyumnya ada kepedihan yang harus ia kunyah setiap malam dan tak mungkin tersapu oleh gerimis yang tiba-tiba turun. Barangkali ia pun berpikir betapa mudahnya menangkap seekor kumbang dan menyimpannya di balik kutangnya yang ketat dan terus saja berpura-pura bahagia. Dan telingaku jadi berdenging, seolah masih kudengar gaung renyah tawanya, sekali pun sesungguhnya aku tahu tawa itu demikian sumbang, sesumbang kepedihan yang harus ia jalani setiap kali menghitung rupiah demi rupiah dari sisa kondom di tempat sampah.
***
Baru saja kubayangkan Ratri menggumuli aibnya sendiri pada gumpalan sejarah peradaban paling purba, dan anganku begitu liar menggelitik resahku di atas tikar lusuh di dalam kamar kostku yang pengap, dan di setiap desah nafas terbayang tubuh Ratri seperti tak sanggup berhenti, gelisah menggapai hasrat meraih sisa-sisa kenikmatan yang segera terlupa dari ingatan. Nafas laki-laki di sampingnya bau arak meresap pada tubuh telanjangnya yang bersimbah peluh dan degup darah pesta pora melupakan luka-luka dan duka yang mengucur di setiap gelas menumpahkan bayang kemabukan. Adakah ia sadari hatiku jadi begitu kosong, begitu kering lupa pada sepotong hati semurni tawa kanak-kanak yang termangu di balik pintu berusaha keras terjaga mencoba menangkap kembali setiap detak waktu yang berlalu dari jam dinding yang sudah lama mati.
Apakah ia tahu aku telah lama menunggu, di belakang pintu dan menyeru-nyeru namanya dalam hatiku, tapi bagaimana caraku agar ia mau berpaling? apakah telah hilang jiwanya dalam genggaman tangan iblis? Ya...sang iblis sendiri! yang mencengkeram lehernya dengan kuku-kuku yang kotor sambil menjilat-jilat luka hatinya yang membusuk di 7 liang.
Dunia di luar sekilas memang tampak masih gemerlap dengan hingar bingar musik pembuat lupa dan aku tahu ia akan menelan semua harga dirinya bersama pil-pil laknat itu, bahkan mungkin ia tak peduli iblis suntikkan racun ke dalam jantungnya…sekian lamanya ia berhenti berdegup. Tidakkah ia tahu aku lama berdiri di situ di belakang pintu sambil menyeru-nyerukan namanya tapi telinganya membatu oleh riuhnya musik pembuat lupa, aku begitu tenggelam dalam ketidakberdayaan, bungkah-bungkah hasrat dalam rabun mataku. aku tahu ia telah teperdaya dan aku lihat sendiri bagaimana neraka mencuri benaknya, merajam jantungnya, meremukkan tubuhnya. Iblis telah menyedot habis kebeliaannya, kegadisannya, dan harga dirinya sampai tandas! tapi oh apa dayaku? Aku cuma seorang laki-laki pengecut, mahasiswa pengangguran yang jatuh cinta pada seorang pelacur…oh Ratri apakah kita memang ditakdirkan berakhir seperti ini!
Tidakkah ia sadari jelaga telah mengotori dirinya dengan warna malam, apakah arti hidup kalau hati jadi begitu kosong dan tanpa daya? ingin rasanya kuseret Ratri pergi dari tempat kemunafikan ini, tapi apa bedanya ia dengan diriku? sedang aku pun menghasratkan dirinya hanya untuk diriku sendiri. Aku ingin terlepas dari belenggu perasaan ini, mengeringkan darahku sendiri dan mengisinya kembali dengan darah bayi yang masih murni. Cintaku pada Ratri telah membuatku hilang akal.
Apakah demikian pula yang Ratri rasakan, aku sering mendengar orang berseru-seru di telingaku tapi tak kutemui satu jasad pun di luar sana, dunia yang kejam tak berperasaan, dan aku merasa begitu kesepian! Oh Ratri tidakkah kau jijik pada para lelaki yang berkubang dalam kemaluanmu mereka toh tak lebih berharga dari dirimu, yang mereka kerjakan hanyalah mengisi dirimu dengan semacam roh kemunafikan menyihirmu dengan kenikmatan anggur dan nasib yang tiada berkepastian, dan engkau makin jauh tersesat sendirian lupa jalan pulang ke rumah! Oh Ratri justru oleh jelagamu aku menjadi begitu kosong dan tanpa daya menanti hari-hari yang akan remukkan kepalaku dengan pecahan genting dan batu-bata
Setiap kali aku pulang ke rumah kost duniaku serasa merapuh, runtuh perlahan jadi serpihan puing-puing mimpi, angan dan tubuh yang bukan lagi milikku. Aku tak lebih dari tanah gersang yang rindukan hujan, segenggam pasir kering yang hasratkan cinta atas seorang penjaja cinta. Hidup tak ubahnya dedaunan yang berlepasan dari tangkainya terbawa angin musim, kehendak yang ingin lepas dari waktu yang membelenggu. Demi sekeping doa di ujung bibirku, aku ingin bebas dari perasaan cintaku pada gadis itu, lepas dari kungkungan jiwa yang papa, bayangan hidup Ratri yang begitu getir, hasratnya menyakiti diri sendiri, dan keangkuhanku yang tak hentinya memperkosa nuraniku sendiri. Dan aku cuma bisa menangis, merutuki kebodohan diri sendiri sebagai bocah cengeng yang menangisi cinta tak sampai dan di luar sana Ratri berjuang sendiri saja…oh Ratri bahkan aku tak lebih mulia darimu.
Kalau aku coba renungkan bahwa cuma kejalangannya yang bersisa, tapi cuma itulah satu-satunya tali nafas yang membuatnya mampu menyambung hidup sekalipun dalam lumpur yang semakin dalam membelit. Bagaimana aku harus melepaskan dirinya dari belenggu dosa-dosa itu sedang aku tak sanggup memungkiri lecutan rasa pedih di hati? Haruskah aku biarkan perasaan cinta ini menghantui diriku selamanya? Tidak, oh demi Tuhan…aku tahu Ratri tak butuh dimengerti! Aku tahu Tuhan pun mungkin tak peduli pada penderitaannya. Telah begitu lama ia resapi sendiri dera rasa sakit itu, dan ia tampak semakin tak peduli, seolah tiada satu pun yang membuatnya malu sekalipun semua orang memaki dirinya sundal! sundal yang hidup dalam kebohongan, Nymphomaniac yang sombong mengangkangi hidup dengan mengais-ngais sisa harkat di tengah reruntuhan puing-puing mimpi.
Ia terima semua tikaman pisau itu dengan sebuah senyuman, seolah ia menyadari dirinya cuma seorang wanita dengan jiwa terbelah, dan apalah arti sebuah senyum dari bibirnya? Seperti setiap kali kutangkap pedih senyumnya tak ubahnya senyum mayat yang beku, karena sesungguhnya jiwanya telah lama mati merana tanpa mengenal makna cinta, dan aku membenci diriku sendiri karena tak sanggup mengulurkan tanganku untuk menolongnya. Oh Ratri, aku begitu pedih oleh ketidakberdayaan!
Aku pernah bertanya pada diriku sendiri pilihan apa yang ia punya dengan semua celaan dan hinaan yang harus ia tanggungkan, tanda yang sudah terlanjur melekat di dada…menoreh begitu dalam. Lalu kepedihan itu… seperti perahu kertas yang rapuh dan perlahan-lahan tenggelam. Betapa sulitnya menggantungkan harapan pada seutas benang keimanan dan selaput tipis kehormatan. Tapi tak tahukah engkau Ratri bahwa aku mencintaimu? Bukan cinta sembarang lelaki yang hanya menghasratkan tubuhmu. Tak tahukah engkau bahwa setiap malam aku harus menahan kepedihan siksa batin membayangkan kehormatanmu dilucuti dan tubuhmu digerayangi puluhan laki-laki. Aku terombang-ambing antara cinta dan kebencian. Bukannya aku tak punya keberanian atau tak cukup uang untuk mendapatkan dirimu, tapi bukan itu yang aku inginkan aku inginkan dirimu sebagai seorang wanita yang utuh, tapi batinku terus saja bergelut antara cinta dan kebencian antara hasrat memiliki dan perasaan benci atas profesi yang engkau geluti.
Gejolak perasaan yang berkecamuk dalam diriku membuatku tertidur dalam bayangan mimpi buruk sampai kemudian pukul 23.35 Ratri mengetuk pintu kamarku dan menyerahkan sebungkus bakmi hangat ke dalam tanganku sebelum ia kembali ke kamarnya sendiri dengan seorang laki-laki yang tak pernah kukenal sebelumnya, dan dengan perasaan marah segera kubuang bungkusan itu ke dalam bak sampah, semata-mata karena aku tak ingin menelan harapan, sekalipun hatiku menggigil oleh bau bakmi yang wangi dan ususku berteriak oleh sergapan rasa lapar yang tiba-tiba menyentak.
Dan Ratri masih saja menyimpan kejalangannya dibalik kutang dan celana dalam warna-warni yang sengaja digantungnya pada tali jemuran di depan kamar kami, seolah mengejek kerapuhan hatiku yang menghasratkan tubuh sintalnya namun hasrat itu tak pernah sekalipun terlontar dari mulutku. Namun deraan nafsu sungguh serupa iblis yang teramat keji, menyelipkan desah di seluruh permukaan dinding triplek yang menyekat kamar kami, menyiksa batinku demikian hebat dalam deraan malam sepi pada saat-saat membekukan jantung, tulang-tulangku jadi begitu ngilu juga kuping dan hatiku yang lapar membeku dalam gairah yang tak kunjung sampai. Dalam gelora siksa demikian dahsyat aku beranjak ke luar kamar menuju kamar mandi di belakang rumah. Pada malam-malam buta itu kuguyur seluruh tubuhku dengan air dingin dan kutelan sekilo sabun di kamar mandi yang lembab berlumut sampai aku tak sanggup berdiri lagi.

April 2004

Mimpi

Aku berlari dalam derai hujan mengejar bunga-bunga impian yang gugur dalam tidurku, aku menjelma padang ilalang, aku menjelma bukit kapur dan karang-karang terjal, aku menjelma hutan tanpa pepohonan, aku menjelma telaga kering dan laut tanpa sungai. Kakiku pedih oleh tangisan lumpur yang melecut-lecut hati berkerak. Sekawanan burung gagak terbang di langit menorehkan paruh mereka pada wajah matahari, berdarah-darah ia penuh luka dan ratapnya menggapai-gapai angin. Aku berlari kepada angin dan menjelma jadi seorang bocah yang berdiri di puncak menara kepedihan, menangisi luka-luka matahari yang pedih menetes-netes membasahi tanganku dengan warna darah. Dari dalam diriku terdengar lagu sendu menyanyikan rintihan padang ilalang, tangisan bukit kapur dan jeritan hutan yang alpa pepohonan. Matahari terus mengucur darah oleh tajamnya cakaran burung gagak membasahi gaun mimpi, melukis hari dengan pedihnya luka-luka. Dan aku berdiri di sana, buta meraba-raba tanpa daya dalam gelapnya mimpi tanpa matahari, hingga seluruh hasrat diri mendorongku untuk meronta dan menjerit…
“Bangun… Miyako, ayo bangunlah” bisik Odori lembut di telinga Miyako. Miyako mendesah perlahan dan membuka matanya yang terasa sangat berat.
“Ah Odori, untung kau membangunkan aku, aku mimpi buruk sekali, tapi…oahhhem…aku masih mengantuk” Miyako membalik bantalnya dan memutar badannya membelakangi Odori lalu menekuk badannya menghadap ke dinding, ia kembali bergelung di pojok sambil memeluk gulingnya.
“Ah dasar kau monyet pemalas” seru Odori sambil tertawa, tapi dibiarkannya Miyako bergelung kembali di atas pembaringannya yang empuk.

***
Mata ibu membuat hujan gerimis dalam hatiku, sendu oleh cadar kabut. Pohon angsana, kuning warna bunganya membunyikan hujan, begitu dalam getarannya seperti mimpi yang menjadi nyata, begitu dalam getarannya membawaku pergi.
Aku berjalan ke dalam hutan, kakiku basah rerumputan, wajahku basah dedaunan, sendu oleh cadar kabut, bergetar-getar dalam nadiku. Kudengar iring-iringan musik di sana, bunyi celempung dan rebana bergaung bercelung-celung dalam bayang titik-titik air. Sosok tanpa wajah berjalan seperti mimpi membawa desah kematian; rumput-rumput rebah, pohon-pohon tumbang, daun-daun luruh ke tanah basah oleh merahnya darah dan ketakutan merajam hatiku buyarkan lamunan pasir kerikil dan tajamnya perdu yang pedih di kaki. Aku berlari, berlari seperti mimpi, seperti mimpi rindukan mata ibu yang membuat hujan gerimis dalam hatiku. Aku terus berlari, berlari sampai teduh mata ibu membawaku kembali pulang. Di depan gerbang rumah ibu aku mengetuk…
“Ayolah Miyako, matahari sudah setinggi galah dan kau masih saja bermalas-malasan” teriak Odori dari ruang makan, tapi mata Miyako masih terpejam, dan kelopak matanya sesekali bergerak-gerak mengikuti irama mimpinya.

***
Aku berdiri di ujung pelangi menatap bunga-bunga cahaya, batin putih tergetar oleh pendar warna sungguh eloknya, janji kebebasan, kekuatan hasrat, ekspresi mimpi, terbang bersama butiran embun menyentuh langit, busur cahaya melampaui gunung paling tinggi menembus samudra raya. Terbang bebas, bebas bersama butiran embun dan hamparan rumput di ujung kaki begitu permainya, bunga cahaya kilau berkilau sungguh indahnya. Membuat hatiku tersenyum membiarkan diri terbalut cahaya dan kebajikan tumbuh bersemi dalam jiwaku yang putih. Dan kabut putih mengambang, melayang memenuhi udara, memenuhi langit, menyelimuti tubuhku dan membawaku pergi membuka gerbang-gerbang nirwana…
“Hmmm…anak itu sungguh keterlaluan, sudah jam segini masih juga tidur, sungguh mengherankan, tidak biasanya ia jadi begini malas!” Odori membatin ”Apa ia mau tidur saja seharian?” ditengoknya Miyako yang masih bergelung di atas tempat tidurnya. Wajah anak itu terlihat begitu tenang seperti permukaan danau yang senyap. Dan entah mengapa batin Odori tergetar melihat ketenangan wajah Miyako, tak sampai hatinya mengusik ketenangan wajah itu, wajah yang sedikit pucat, namun Miyako tampak demikian cantik dalam lelap tidurnya, dan seolah wajah itu memancarkan aura cahaya yang menyimpan seribu misteri.

***
Aku seperti baru terjaga, dan buru-buru kubuka pintu kamarku, tapi tak kutemui Odori, hanya ada seorang gadis, gadis dengan kerudung hijau lumut menutupi kepalanya, gadis itu berjalan ke beranda menyibakkan tabir rembulan, dan sekilas tampak wajahnya kilau permata bibir ranum buah delima merah cahaya. Sinar rembulan menitik menyiram tubuh rupawan mandi rembulan. Dada putih itu, dada putih angsa jelita, gemulai bulu-bulu sutra gerak lampai menari turun menari ke tepi kolam, berkilau air tenang bunga teratai melambai. Kuntum-kuntum berseri kelopak bunga merekah dalam rangkuman pawana. Sang gadis bercermin dalam air bening jernih, seulas senyum mengembang dari bibir rupawan mengagumi keelokan diri sendiri. Dan rembulan menitik, terus menitik jadi hujan mengusik keheningan kolam buyarkan lamunan di balik mimpi itik buruk rupa yang ingin menjelma jadi angsa jelita. Dan tangan-tangan misteri terulur dari permukaan kolam yang beriak, menarik tubuh gadis itu perlahan masuk ke dalam kolam yang dingin…
Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore, hangat sinar matahari semburat menerobos kisi-kisi jendela, Odori semakin resah karena Miyako belum juga terjaga dari tidurnya, dan Odori pun menghampiri tepi pembaringan dan menatap wajah Miyako dalam-dalam, wajah adik kecilnya yang cantik. Miyako yang selalu manis dan baik hati, Miyako yang selalu membuatnya merasa iri dengan segala kelebihannya. Wajah itu tampak begitu tenang begitu damai seolah tiada satu noda pun dapat mencemarinya, dan ia merasa berdosa harus mengusik mimpinya, tapi sudah lebih 17 jam adiknya pulas tertidur, dan itu bukanlah suatu hal yang wajar. Odori menjadi gelisah tapi ia tak tahu apa yang harus dilakukannya karena itu ia duduk saja di tepi pembaringan sambil menatap wajah Miyako yang menyunggingkan senyum lembutnya nan cantik.

***
Sebuah pintu tiba-tiba terbuka dan di depanku terhampar sebuah panorama yang teramat indah, taman-taman bunga, hamparan pasir putih dan bebatuan, danau yang kemilau, bukit-bukit hijau, gemercik air sungai mengalir dari arah lembah dan gunung-gunung di kejauhan. Di tengah taman yang mempesona itu duduklah seorang gadis yang amat elok parasnya. Ia adalah sang penafsir mimpi, berkelebatnya peristiwa di luar realitas sehari-hari. Ia adalah penterjemah gerak kupu-kupu, lambaian bunga embun dan rumput hujan di padang, di mana angin luruhkan dedaunan. Keheningan adalah bahasa ibunya, kesenyapan adalah isyarat kehadirannya. Ia berenang bersama samudra ikan, dan terbang tinggi mengiringi awan berarak.
Matahari adalah bapaknya, bulan adalah ibunya, dan bumi adalah tempatnya bermain. aku dapat melihatnya sedang mengenakan gaun dari tetesan air hujan, dan hamparan salju menjadi mantel kebesarannya. Oleh karena gembira hatinya, maka ia sematkan bunga musim semi sebagai penghias rambutnya, dan ranum pipinya tampak semakin berseri dalam warna merah muda.
Dialah pemilik semua petunjuk, segala silang pendapat yang telah lewat, kepastian yang sejenak berhenti, atau pun keraguan yang berlari bersama angin ke tempat yang jauh. Ia berdetak bersama jantung kehidupan. Jejak langkahnya adalah derap kaki kuda yang tertera di pasir putih, sedang air matanya adalah kesejukan di mana segala luka disembuhkan, dan ia tersenyum sambil melambaikan tangannya padaku seolah mengajakku bermain, aku tak pernah merasakan kebahagiaan seperti saat ini …
Miyako tersenyum dalam tidurnya seolah rangkaian peristiwa demi peristiwa itu telah menjadi demikian jelas dalam mimpinya, dan ia pun berlari mengejar sang penafsir mimpi seperti segala sesuatunya menjadi begitu nyata, seolah mimpi itu telah menjadi hidup dalam dirinya, dan membawanya masuk semakin jauh ke dalam dunia yang selama ini tak pernah ia kenal sebelumnya. Tanpa Miyako sadari tubuhnya perlahan terbungkus oleh selimut kabut yang kian lama kian menebal dan membuatnya makin jauh tersesat dalam labirin mimpi hingga ia tak dapat lagi menemukan jalan untuk kembali.

April 2004

Catatan:
- Nama Miyako dan Odori saya comot begitu saja tanpa ada maksud tertentu dari ‘Miyako Odori’ sebuah nama tarian musim semi untuk memperingati kepindahan ibukota Jepang dari Kyoto ke Tokyo tahun 1872



Pendakian Terakhir

Kutatap wajahmu dalam foto yang tak pernah lepas dari dompetku, foto yang kian lusuh terlipat kepedihan, waktu yang menyimpan bening matamu seperti mengguratkan puisi pada hari-hari yang melaju begitu kencang ke penghujung usiamu. Sedang kau masih saja menyimpan misteri di balik senyummu yang guratkan kesedihan, kesedihan benarkah? Bukankah masih kau ingat perjalanan kita menyusuri lereng Lawu, Semeru dan Pangrango? dan percakapan senyap yang senantiasa mewarnai kerinduan hati kita mengoyak malam buta dan dinginnya embun yang menggigilkan daun-daun cemara.
Tentu saja Pram, masih kuingat setiap detail percakapan kita, detail yang membuat perasaan itu mengeras seperti kristal embun yang bening bergulir dari ujung rerumputan dan jatuh ke tanah tempat berseminya semua benih yang engkau taburkan. “Apakah kau sudah capai Lan? Biar kubawa ranselmu…aku masih bisa membawanya kalau kau lelah…mungkin kau mau kita istirahat dulu di sini?” dan bening embun itu begitu teduh membuatku kian terlena, aku ingin berlama-lama berenang di dalamnya, jangan buat aku terjaga Tuhan, kumohon jangan!
Ah Pram, kau begitu penuh perhatian, selalu…tak hirau bebanmu sendiri sedang aku sibuk menata hatiku dari butir-butir keringat yang tak henti mengucur. Dan kita terus saja berjalan, mengarungi pasir Parang Tritis, batu-batu kerikil di Tanah Lot, dan merendam kaki di Danau Toba. Oh Pram tahukah kau, sebenarnya aku ingin kita bisa berjalan lebih jauh lagi, sejauh keinginanku merekam semua peristiwa yang sanggup menyimpan kesenduan musim, menuai potret cuaca yang kadang terik kadang hujan dan juga memetik kilau senja yang tak akan pernah kulupa. Dalam ranselku masih juga kusimpan sketsa-sketsa perjalanan kita, juga larik-larik puisimu yang tak hentinya menggugat pertalian takdir, dan foto hitam putih yang kian kabur menyisakan setitik harap dan tentu saja goresan kontemu yang selalu membuatku terharu. Tapi tak kujumpai kau di sana Pram, cuma tinggal foto lusuh ini saja yang masih simpan kepedihanmu. Sekalipun kau tersenyum dalam foto itu, sekalipun matamu masih cemerlang seperti bintang-bintang di surga, tapi semua kilasan itu tak mampu mengusir gundahku. Ah kenapa tak ada foto kita berdua? kenapa hanya ada gambar diriku melulu… sedang kau jauh sembunyi, ataukah karena aku tak bisa menggambar sepertimu, juga karena kau tak pernah mau kuabadikan, “Nggaklah Lan, aku kan jelek…ntar fotonya nggak jadi!”
Kau tertawa, tak kusangka tawa itu jadi terasa begitu pedih sekarang. Sungguh aku kecewa Pram, padahal kau begitu tampan dengan syal abu-abu itu, jaket jeansmu yang belel dan lakenmu yang kumal selalu menyimpan pesonanya sendiri. Semua yang tak dapat kulupa mengapa jadi terasa begitu pedih? semua hanya hidup dalam ingatan yang rapuh. Dan renungku mengapung ke dalam belantara Cemoro Sewu, tanah lembab yang menyimpan seribu gundahmu, seorang kekasih di kedalaman rimba …oho cinta yang purba, perjalananmu yang terakhir…. Apakah harus aku percaya kata orang-orang tua agar kita tak pernah mampir ke Telogo Wurung? agar semua berjalan seperti yang kita inginkan, agar pertalian takdir kita tak kandas di tengah jalan.
Ah Pram, seandainya saja bisa kurekam semua peristiwa…seandainya saja kugenggam sang waktu, Biarlah semua berjalan mundur, berjalan seperti kita tak pernah berhenti, mungkin kita masih akan sempat mengarungi Atlantik, menjelajah Sahara atau mendaki Everest, mungkin saja…mungkin takdir akan berjalan ke arah yang berbeda bila saja aku bukan Mei Lan dan kau bukan Pramudji, bila aku bukan Cina dan kau bukan Jawa, aku bukan Budhis dan kau bukan Muslim, dan sederet pertentangan lain diantara kita, tapi bukankah cinta tak pernah membelenggu seperti katamu? Aku jadi teringat puisimu Pram, bagaimana aku akan melupakannya?
Jangan tinggal tanya, Gabak hati gabaklah mata ada sangsi di diri ada tanya di benak akankah aku menjadi kafir karena menggugat takdir?
Ah Pram, sudah sejauh itukah perasaanmu padaku, sedang debar-debar haru itu masih membuatku tergugu, sedang kau pun tak sungguh-sungguh berani menggenggam tanganku, padahal aku selalu menunggu. Cintamu begitu murnikah? Ataukah itu merupakan sebuah pertanda darimu seperti yang penah kau nyatakan bahwa aku tak lebih dari boneka kristal yang begitu rentan… oh Pram, benarkah? ataukah kau masih ragu dengan degup rasa di dadamu sendiri? tak bisakah kau membuatnya mengalir seperti aliran tintamu, atau mungkin juga dalam bait-bait puisimu yang lain?
Ada jurang di antara kita, tidak juga cinta menjembataninya, baiklah kita terjun saja dan mati bersatu di dasarnya!
Apakah engkau bersunguh-sungguh Pram? Apakah engkau akan membawaku tenggelam ke tengah heningnya Telaga Sarangan? Ataukah kau ingin mengajakku mati bersatu di dasar jurangmu? sedang setiap perhentian seperti bayangan kabur, aku berdiri sendiri di tepi sini di tubir waktu yang menggigil sedang engkau dalam balutan kabut di tepian yang lain, sekian jarak diantara kita tanpa satu pun jalan penghubung. Benarkah Pram, akan kau jemput aku di dasar lembah, atau barangkali tak pernah ada titik pertemuan itu sehingga kita mesti mati sendiri-sendiri sebagai satu-satunya pilihan kita yang terakhir?
Oh Pram, engkau membuatku takut tapi sungguhkah semua rasamu jadi begitu naif seperti tertulis dalam puisimu terakhir? sedang semua perjalanan kita masih juga menyisakan sekian banyak tanda tanya, sedang aku masih terbuai oleh seluruh bujuk rayumu, menafsiri arti seluruh tatap matamu sebagai sebuah ungkapan cinta, sedang ternyata hatiku sia-sia menanti? Oh Pram jujurlah padaku, apakah kerinduanmu padaku hanya serupa pohon-pohon ranggas, kayu-kayu lapuk, tanah-tanah rengkah sepanjang Surakarta – Wonogiri, yang kita lewati menjelang kemarau tempo hari? Debu yang sesakkan batinmu, bukankah masih ada adikmu di sana menunggu kita membawakan oleh-oleh, sekotak gundu, dan sepasang layang-layang, juga emakmu simpan kerinduan yang sama dari basahnya kain jarik yang merebak di pagi dini hari, sepanjang perjalanan turun ke belik, mandi angin basah yang sebarkan aroma sabun murah, hingga siang menjelang di alun-alun depan SD Pangkah tempat bocah-bocah cilik bertempik sorak kibaskan debu angin kering yang hembuskan wangi daun jati. Di situ Pram, saat senja merona angin riapkan rambutku dan di beranda di belakang rumahmu kau masih sempat membisikkan kata-kata yang tak akan pernah kulupa, “Lan..aku cinta padamu!”
Tapi Pram apalah arti cinta bagi kita sedang Ibumu masih saja menyimpan kemarahan di matanya dan bahkan Bapakmu engan pula menyapa, hanya karena aku Cina? Pram jawablah…mengapa kau tak punya kata-kata? Seucap saja untuk membasuh pedihku, sedang kuturut engkau untuk menabur kesia-siaan jauh hingga batas perjalanan ke desamu yang gagu dan yang kutemui hanyalah tunggul-tunggul pisang yang kering melepuh, bunga-bunga tebu meranggas, dan batu-batu tajam menampar hatiku. Apa yang harus kulakukan Pram dalam kesesakan semacam itu? bukankah aku cuma seorang gadis yang ingin di cintai? bukan sebagai siapa-siapa selain sebagai diriku sendiri, dengan mata sipitku, dengan kulit kuningku dan mungkin juga dengan suara cadelku di telingamu. Apakah aku terlalu berlebihan Pram? Bukankah aku adalah Mei Lan yang selama ini engkau kenal?
Sedang aku akan mati-matian mempertahankan engkau dihadapan Papa sekalipun mungkin ia segarang harimau, juga dari tikam tajam mata Mama sekalipun tatapnya setajam sembilu di hatimu, apa pun yang bakal terjadi aku akan membuat mereka mengerti bahwa engkaulah Pram-ku, kekasih hatiku seorang. Seandainya saja…ya seandainya saja engkau berani Pram, tapi engkau keburu pergi dengan sangsimu, dengan sepimu, dengan segala pedih dan kekecewaan di matamu seolah tiada lagi yang harus kita perjuangkan, seolah Lawu lebih berarti bagimu daripada cintaku padamu, seolah semua perjalanan yang telah kita tempuh itu hanyalah sebuah kesia-siaan. Kenapa Pram? kenapa kau pergi begitu saja? seperti kau lupa mengajakku tenggelam, seperti kau lupa mengajakku terjun ke dalam jurang kekelaman, mengapa kau memilih pergi sendiri? Oh Pram, haruskah aku menangis, ataukah mesti bersyukur? karena rupanya takdir telah mengalahkan kita, mengalahkan cinta kita, bila memang ada cinta di antara kita.
Oh Pram kemana lagi aku mesti bertanya sedang kau masih menyimpan semua misteri itu sendiri dalam kepedihan senyummu, tinggal ini satu-satunya yang tersisa dari dirimu sebuah foto wajahmu yang akan segera usang, sedang hatiku demikian rapuh digerogoti sepi. Sesepi itukah engkau di situ dalam pembaringanmu yang gelap? Apakah engkau masih memikirkan diriku seperti aku tak henti merindukanmu? Oh Pram, kenapa mesti seperti ini? Kenapa harus kau akhiri hidup seperti ini.?
***
Langit semburat merah, senja memagut kelam sebentar lagi. Mei Hwa dengan lembut menarik tubuh kakaknya yang terbaring di tanah memeluk makam Pramudji kekasihnya yang meninggal oleh kecelakaan dalam pendakiannya yang terakhir di lereng Lawu. Mereka berjalan perlahan pergi meninggalkan komplek pemakaman yang sebentar kemudian telah menjadi gelap.
Kuningan, Mei 2004

Pulang

Terbilang hati resah pada lautan pasir ini, menghitung kerikil dan batu yang lekas jadi tua, sepanjang bayang bunga tebu dan jantung pisang luruh berjatuhan hingga jauh ke dalam lubuk perigi kampungku yang kian renta, masih juga kepapaanmu membekas seolah engkau tak pernah jua tersentuh peradaban. Setelah sekian lama... ya sekian tahun kau kutinggalkan, masih juga wajahmu tak banyak berubah, jalan batu berdebu itu, huma-huma yang lengang, bocah bermain di sepanjang pematang, kerbau berkubang dan bau kemalasan yang tak kunjung berubah, nyaris…serupa panorama 10 tahun yang lalu saat engkau kutinggalkan.
Hanya tiang-tiang listrik dan roda-roda angkutan pedesaan yang lewat sajalah yang mencairkan kebekuan wajahmu, roda-roda yang menghembuskan debu dan asap hitam knalpot sepanjang jalan yang kulalui, meninggalkan kepedihan yang sarat, tumpat padat dalam dadaku sampai tak kuasa aku menahannya pecah dalam serpihan isak tertahan. Bagaimana harus kulukiskan perasaan ini sedang yang tersisa cuma rasa sakit yang dalam, rasa sakit yang mencabik-cabik hingga membekas pada seluruh ingatan, kenanganku atas kampung emak di punggung perbukitan gundul ini. Kukenal setiap jengkal tanah berbatu dan setiap lobang-lobang kubangan kerbau, bau kotoran yang memenuhi udara sepanjang pematang, dan batang-batang kayu yang meranggas. Aku ingin menangis, menangis seperti aku tak pernah menangis sebelumnya, seperti ketika pertama kali semua pemandangan ini kutinggalkan bertahun-tahun yang lalu.
Aku masih ingin menangis seperti aku menangis ketika bapak mengusirku dari desa terpencil ini, dari rumah masa kecilku, dan semua peristiwa menjadi begitu jelas terbayang di pelupuk mataku. Setelah sekian lama, akhirnya aku pulang… oh Emak, ini aku anakmu, anakmu yang hilang pulang ke haribaanmu, duhai Emakku bagaimana gerangan dirimu sekarang? Adakah engkau selalu terkenang akan anakmu ini? anak durhaka yang memaksa diri pergi memperturutkan keinginannya. Duh Emak, ampuni aku, betapa pun aku tak akan kuasa memandang wajahmu, betapapun aku tak layak bersujud di bawah kakimu, tapi rinduku seakan bisul yang tak dapat kutanggungkan lagi. Ampuni aku Emak…ampuni aku. Kuseka air yang menetes dari mataku yang perih, ada terselip perasaan gundah sekalipun aku tahu anak istriku sepenuhnya memahami apa yang tengah aku rasakan, seperti perasan yang dapat kutangkap dari pandangan wajah mereka yang penuh rasa simpati, karena mereka tahu sudah sekian lama aku tak pernah pulang ke rumah emakku.
Seharusnya waktu mengajarku mengerti atau setidaknya menjadikan diriku lebih bijaksana, tapi waktu sepertinya mengaburkan semua ingatanku dan mungkin juga waktu tak mampu merubah diriku. Kini tiba-tiba semua kilasan peristiwa yang membawa kepergianku kembali jelas terbayang, semua hal yang selama ini ingin kulupakan namun akhirnya membawaku kembali juga ke dusun ini, dengan segala gejolak perasaan, dada dipenuhi rasa gentar yang tak juga sanggup aku tepiskan. Apa yang sudah jadi pergunjingan orang selama ini? Harus kuhadapi semua tudingan mereka yang menganggapku sebagai anak tak tahu diri, melupakan nasib bapak dan emak yang penuh petaka, mengais-ngais tanah rengkah demi mencari umbi ketela yang terkubur begitu dalam dan perbukitan kapur di atas sana mengirimkan dukanya runtuh sekeping demi sekeping.
Selama ini memang tak pernah tersirat dalam benakku, nasib emak yang berasa sendiri saja menunggui laki-laki tua itu, melupakan umur dan anaknya sulung yang jauh pergi merantau. Hidup tinggal kesiaan jadi begitu leta, bagaikan sayur yang hambar dari kacang dan buncis sudah lama tak lagi tumbuh di pekarangan tanah rengkah. Barangkali juga sudah lama tak ada pendiangan di dapur belakang rumah dan panci aluminium itu makin keropos oleh noda karat. Juga pembaringan kayu yang dulu jadi tempat aku dan adikku bermain kala masa kanak-kanak telah jadi demikian rapuh menahan tubuh bapak dan emak yang semakin kering oleh udara demikian gerah. Barangkali benar sudah terlalu lama kulupakan satu-satunya sumur di belakang rumah yang makin kerontang oleh lautan pasir, penuh berisi kerikil dan batu kapur mengubur bayangan emak yang surut perlahan dari sisa-sisa kenangan yang ditelan rakusnya mulut sang waktu.
Semua itu terjadi hanya karena aku sudah jemu pada omongan bapak seolah hasratku hanya dipenuhi oleh gebyar tontonan televisi dibalai desa, dan riuhnya suara radio yang memperdengarkan asyiknya irama dangdut. Sedang segala kemajuan teknologi dan informasi yang kubaca dari potongan koran yang kuperoleh dari guruku di sekolah menengah sudah semakin jauh meninggalkan kampung kami yang terbelakang. Ini zaman hand phone multi color, high speed internet dan pesawat Columbia bolak-balik ke bulan, tapi Bapakku masih saja sibuk dengan tanah rengkah, batang-batang ketela, kerbau, perkutut, bunyi jengkerik tiap malam dan satu-satunya teknologi yang kami miliki cuma radio transistor 1 band melantunkan Pangkur dan Dandanggula, tak ada Heavy Metal, Swing atau Jazz. Bapak tak kenal telephone, yang ia tahu cuma corong langgar satu arah menggemakan takbir dan panggilan sholat. Aku jemu dan pergi…persis seperti yang ia minta.
Potret bapakku memang sudah lama usang dan basi, tenggelam dalam bayang kelabu kampungku, tegalan kering, pohon meranggas, debu dari jalanan berbatu yang kutinggalkan 10 tahun yang lalu. Betul sekarang listrik sudah menyala, jalanan dari kecamatan sampai gerbang dusun sudah mulai beraspal, dan mungkin saja emak tak perlu menempuh 5 Km hanya untuk mengambil seember air bersih bila sumur kami kekeringan. Aku sungguh-sungguh merindukan ibu dan 4 orang adikku, tapi aku tak tahu apakah mereka akan menerima kepulanganku setelah sekian lama aku pergi tanpa berkabar berita.
Pikiranku menerawang, seandainya saja aku tak memutuskan pulang hari ini maka mereka mungkin tak akan pernah tahu kalau aku juga sudah jadi ‘orang’ seperti yang mereka inginkan. Takdir yang membawaku ke ibukota, membuatku terbiasa dengan asap bus kota dan bau keringat tengah hari, pergumulan nasib yang akhirnya membuatku berhasil memiliki dua buah kios di pasar induk. Namun kadang-kadang kerinduan itu merasuk diriku dan setiap kali hasrat pulang itu datang aku selalu menunda demi harga diri yang sudah terlanjur terluka. Sekalipun anak istriku telah lama mendesak, mereka ingin bertemu juga dengan bapak dan emakku, tapi aku selalu menemukan jawaban untuk mengelak. Tidak tahun kemarin dan entah pula lebaran tahun ini? Selalu kubilang pada anak istriku kalau aku tak pernah lupa mengirimkan wesel kepada emak dan juga selembar cerita bahwa Monas makin megah, Taman Mini tak kehilangan serinya, juga tidak nampak lagi sisa banjir tahun lalu, tapi sesungguhnya semua itu hanya rekaanku semata untuk menepiskan kegalauan hatiku. Pikiran yang sama pulalah yang selama ini berkecamuk dalam diriku, apakah suatu waktu nanti aku sanggup membuat bapak mengerti, bahwa sudah dua orang anakku sekarang, mereka ingin juga menengok kakeknya bukan cuma sekedar di dalam mimpi. Betapa aku ingin pulang ke rumah bapak, tapi entah kapan? apakah harus kutunggu bapak menjadi tua dan pikun, lupa pernah mengusir aku dari rumahnya?

***
Ada deru yang meninggalkan kampungku, iringan orang-orang berjalan sepanjang arah kepemakaman menyisakan debu yang melekat di ujung rerumputan. Jalanan jadi lengang, angin pun enggan berbisik, dan aku seperti menangkap sebuah isyarat ada sesuatu yang telah terjadi. Iring-iringan orang yang sepertinya aku kenal, beberapa orang tetangga dari masa kecilku.
Sumardi, ya itu pasti Sumardi teman sepermainanku dulu. Maka kupinggirkan mobil dan bergegas kubuka pintu, “Di, Mardi..!” teriakku.
Laki-laki setengah baya berpeci hitam dan berbaju abu-abu sedikit lusuh itu segera memalingkan muka dan berjalan meninggalkan iring-iringan menghampiriku, ada tanda tanya dalam wajahnya. Aku segera menyambut dan menyalami tangannya yang dingin.
“Di…ini aku Parmin, lupakah kau padaku?” kataku dengan antusias.
Sejenak wajah itu ternganga mencoba menemukan isyarat dari masa lalunya.
“Oh masya Allah Min …” kata-kata itu terputus di tenggorokan Mardi karena ia buru-buru memeluk diriku tanpa berkata-kata. Aku kaget dengan sikapnya yang demikian, tapi setelah sekian masa tak bersua barangkali ia merasakan kerinduan yang sama seperti yang kurasakan juga. Sesaat kemudian Mardi melepaskan pelukannya.
“Min, …untung kamu bisa pulang.”
Kulihat mata Mardi berkaca-kaca, seperti ada perasaan galau yang dipendamnya dan enggan untuk disampaikannya padaku.
“Ya Di, aku juga bersyukur bisa pulang sekarang.”
“Berarti kamu sudah terima kabar dari Peno adikmu?”
“Kabar? Kabar apa Di?” aku kebingungan
Sejenak Mardi terdiam sebelum akhirnya dikatakannya juga, “Kabar kalau emakmu sudah berpulang ke rahmatullah?”
Pandanganku tiba-tiba nanar, dan aku nyaris terjatuh untung Mardi buru-buru menyangga tubuhku yang limbung.
“Oh Di… benarkah yang kau katakan itu… aku tak tahu… kapan emakku meninggal?” kataku terbata
“Semalam Min, kami sudah kuatir kau tidak bisa pulang karena baru tadi pagi Peno mengirim telegram ke Jakarta.”
“Jadi….”
“Ya itu iringan jenazah emakmu yang akan dikuburkan.”
Mulutku tercekat, ada ngilu yang menyesak di dalam dada menjelma isak yang tertahan di tenggorokan. Tapi aku mencoba menguatkan diri untuk tidak menangis hanya untuk menyembunyikan kepedihan hatiku.
Apakah aku telah menangkap semua isyarat akan kejadian ini? Dalam perjalanan semalam tak kulihat wajah rembulan yang mulai tua dan bintang pun enggan menampakkan wajahnya, juga atas sikap bapak yang bahkan tak mau menemui istri dan anak-anakku. Semua terjadi di luar apa yang dapat aku bayangkan. Ternyata kemarahan bapak tak pernah sirna, dan kematian ibu semakin mengukuhkan kebenciannya padaku. Aku tak tahu lagi apa yang harus aku katakan pada istri dan anakku yang kebingungan dan isyarat demi isyarat menjadi sebuah gambaran yang semakin kabur dalam pandangku.
Kususuri jalan ke rumah dengan penuh perasaan bimbang dan tampak rumah masa kecilku yang sudah mulai condong ke Barat, juga pekarangan yang lengang, tegalan dan sumur kering di belakang rumah. Pohon-pohon kelapa di depan rumah tak nampak satu pun berbuah. Mungkin emak sudah terlampau lama menunggu kepulanganku dan ia tak bisa menunggu lebih lama lagi.
Maafkan aku Mak…hatimu telah tercuri, bagai cadar embun yang menguap saat mentari tiba, telah lama tak kukecapi garammu dan kini telah jadi demikian hambar di lidahku. Engkau kini tinggal jadi sengatan seribu ingatan pada tubuh anakmu lanang ini. Semua sudah demikan terlambat, waktu yang tak mau lagi berpihak pada kekerasan hatiku dan aku cuma bisa bersimpuh di pembaringanmu terakhir sebagai anak durhaka yang belum sempat memohon ampunan. Aku hanya bisa menangisi kepapaan diriku didera sejuta sesal karena mengabaikan semua isyarat kerinduanku kepada emak selama ini.
Emak telah kehilangan hari-harinya dan demikian juga aku. Apakah aku akan jadi lebih mengerti tentang arti sebuah mimpi? Burung tekukur yang menyanyikan lagu duka di pucuk pepohonan kering, di antara nisan dan bunga kamboja yang berguguran? Kuburan emak jadi tempat yang begitu asing bagi jiwaku yang kesepian, sedang kubur emak hanyalah seonggok tanah yang telah sepi pula dari kenangan.
Emak, engkau jadi begitu dingin, simpan luka-luka dalam hatimu aku tahu kau sedih dan kecewa, tapi dengan apalagi dapat kutebus dosaku? Tak ada sesuatu pun yang telah kulakukan yang mampu membuat engkau bahagia, akulah anak durhaka yang menyebabkan kematianmu, tapi aku akan terus merindukanmu seperti kampung kita merindukan hujan.
Kuambil sejumput tanah dari kuburan emak dan kubungkus dengan saputanganku lalu kumasukkan dalam saku celanaku. Hari ini kutangisi kepergianmu emak, tapi pergilah dengan tenang, karena aku tahu di sanalah rumahmu abadi di mana tak akan kau temui lagi segala kepedihan.

April 2004









Idiot

Bau busuk got mampat memenuhi udara, seperti hendak menumpahkan kekesalan pada dinding setengah papan setengah gedek rumah sederhana berukuran empat kali lima meter persegi milik Partiyem. Seperangkat perabot murah tampak di dalam rumah itu, bale-bale bambu reyot, sebuah bupet kayu mahoni kusam peninggalan mertuanya dan kompor berkarat yang catnya sudah mengelupas di sana-sini dan jerigen plastik warna putih berisi minyak tanah yang tinggal terisi setengah terletak di pojok ruangan dekat pintu triplek bobrok ke arah kamar mandi.
Di ruang belakang yang berfungsi sebagai dapur terdapat meja makan kecil dari kayu bekas kotak sabun tempat segala macam perlengkapan diletakkan, piring-piring kaleng dan gelas kotor, rantang sayur yang tinggal berisi kuahnya yang bening, kendi tanah liat, dan bakul nasi yang kosong berkerak. Di tengah ruangan terhidang sepiring getuk di atas meja dari papan kayu kas reyot yang hampir somplak dan di belakang ruang duduk yang sempit itu terdapat bilik papan yang tertutup kain korden kumal warna hijau yang berbau apak. Dalam bilik sempit itu menjuntai dua pasang kaki di atas dipan kayu yang mulai lapuk termakan usia, dua orang anak Partiyem, Oni 12 tahun dan adiknya Oon 10 tahun masih lelap tertidur.
Partiyem masuk ke dalam rumahnya setelah pulang berbelanja dari pasar subuh tadi, dan meletakkan sekeranjang sayuran yang hendak dijajakannya kembali di kompleks perumahan di seberang kampungnya. Kacang, bayam, buncis, kol, cabe ia pisah-pisahkan dalam tas kresek tipis warna biru, ia pindahkan kangkung yang sedikit layu dan 3 bungkal kol di tumpukan terbawah bersama bungkusan tahu taqwa dalam plastik berisi air berwarna keputih-putihan, beberapa potong tempe dibungkus daun pisang, ikan pindang, 3 ekor ayam potong, pisang dan pepaya ia biarkan berantakan di atas ubin abu-abu yang retak dan berlobang di sana-sini. Partiyem mengambil gelas dan menuang air putih dingin dari dalam kendi dan meminumnya dengan bernafsu, ia lalu membawa piring-piring dan gelas kotor, rantang sayur dan bakul nasi bekas semalam ke ruang kecil di belakang rumah yang berfungsi sebagai kamar mandi, kakus dan tempat cuci sekaligus. Piring, dan gelas yang telah ia cuci bersih ia masukkan ke dalam baskom dan diletakkannya di atas meja kayu bekas kotak sabun.
“Oniiiii! Bangun! Sudah hampir setengah enam sudah waktunya Mak jalan, Oniiii….di mana kupingmu…..dasar budeg!” Partiyem menyingkap gorden dan menatap gusar anak-anaknya yang masih tergolek malas
“Cepetan… sudah siang! Mak bisa kehilangan pelanggan, bocah tolol!” Partiyem sudah tak sabar mencubit paha Oni anaknya yang sulung.
“Aduh…aduh Mak, sakit!” seru Oni sambil meringis.
“Cepetan bego! Bangunkan Oon dan mandikan adikmu segera…Mak harus segera pergi!”
Oni memasang wajah masam memukul punggung adiknya,“Bangun On! Bangunnn…! cepetan ntar diomelin mak lagi…mau kupukul kamu?” kata Oni geram
Oon membuka matanya ketakutan wajahnya berubah memelas seperti mau menangis, “Cepetan turunnya, kayak keong saja!” Oni menggeret tangan adiknya turun dari dipan dan menarik tangan adiknya dengan kasar ke kamar mandi.
Partiyem sibuk memindahkan sayuran dan barang dagangannya yang lain ke dalam gerobak di depan rumah, gerobak itu peninggalan Parno almarhum suaminya, setelah Parno mati kena demam berdarah gerobak sayur itulah penyokong hidup mereka sehari-hari.
“Oni! Mak pergi…jaga adikmu ya, awas kamu jangan main-main dekat rel kereta lagi! Oniii …kamu dengar kata Mak? seru Partiyem keras.
“Ya ….ya Mak! Pergilah!” jawab Oni kesal sambil mengguyur kepala Oon adiknya yang idiot dengan segayung air dingin.
Gang sempit bau busuk sudah terang tanah, lampu-lampu petromaks sudah dimatikan, orang-orang mulai ramai berlalu lalang. Langit cerah bulan Juni mulai dikotori asap pabrik di seberang Kali Ose. Raungan motor dan deram mobil mulai memenuhi telinga menyemprotkan asap hitam. Partiyem berjalan mendorong gerobak ke arah kompleks perumahan di seberang kampungnya sambil berteriak-teriak, ”Sayuuuuur…..sayuuuuur!”

***
Oni berpikir keras, setelah rencana yang gagal ia laksanakan beberapa hari yang lalu, masih ia rasakan sakitnya pukulan rotan penggebuk kasur itu di pantat dan kakinya, dan kepedihan itu membekas begitu dalam dihatinya….semua gara-gara Pak Bagong penjaga palang kereta api itu yang menggagalkan rencana yang telah ia susun baik-baik, rencana untuk melenyapkan Oon selama-lamanya. Oon adiknya yang idiot ini yang telah meracuni hidupnya merampas semua kebahagiaanya, yang membuatnya tak dapat lagi mengecap bangku sekolah seperti teman sepermainannya yang lain. Setelah bapak mati dan maknya harus membanting tulang menanggung hidup mereka Oon harus menjadi tangunggjawabnya sepenuhnya. Ia terpaksa putus sekolah di samping karena emaknya memang tak cukup mampu dan adiknya yang idiot ini tak ada yang bisa menjaga, begitulah kemana pun ia pergi Oon mesti ikut serta.
Kebencian Oni pada adiknya semakin menyala-nyala terutama karena maknya tampak lebih mengutamakan kepentingan adiknya daripada dirinya, seolah Oon memperoleh semua perhatian dan kasih sayang ibunya. Tak pernah sekali pun Oon kena marah apalagi kena pukul, padahal adiknya itu gobloknya setengah mati. Rasa cemburu yang menyalakan api dendam kesumat dalam dirinya, dan rencana yang telah ia susun untuk melenyapkan Oon telah gagal total. Di luar perhitungannya nyawa Oon berhasil diselamatkan Pak Bagong, Oni sudah mengatur agar adiknya terjatuh di rel saat kereta api bakal melintas tapi tindak-tanduknya yang mencurigakan tidak terlepas dari pengawasan Pak Bagong yang dengan sigap menarik tubuh Oon dan mengusir mereka keluar dari lintasan. Pak Bagong tetangganya yang berperut tambun itu bahkan telah bocor mulut menceritakan semua upaya Oni yang sia-sia kepada emaknya. Tak ampun 10 kali gebukan di punggung, pantat dan kaki harus ia terima, sampai ia harus menghiba-hiba meminta ampun dan andai saja para tetangga mereka yang melihat peristiwa itu tidak menghentikan pemukulan sudah pasti hancur badan Oni di tangan emaknya.
Beberapa hari ini Oni memutar otaknya lebih keras lagi, ia telah belajar dari kejadian di lintasan kereta api, kali ini ia tak boleh gagal oleh karena itu ia mengatur sebuah rencana lain yang telah diperhitungkannya masak-masak. Ia telah menyuruh adiknya makan getuk kenyang-kenyang sementara ia menyiapkan tali plastik yang dicurinya beberapa waktu lalu dari kios Babah Hong di pasar, mencuri itu adalah salah satu keahliannya yang lain yang ia pelajari diam-diam, beberapa kali ia berhasil mengambil bungkusan rokok atau beberapa butir telur di pasar tanpa ketahuan dengan cara yang sangat trampil. Hasil curian itu ia nikmati diam-diam kala emaknya pergi berjualan keliling, dan untuk rencananya kali ini Oni juga sudah berhasil mencuri beberapa bungkus Chiki snack makanan kecil kesukaan Oon. Setelah menelan beberapa potong getuk ia mengambil perlengkapan yang sudah ia persiapkan dan mengajak Oon pergi ke sungai.
Oon memukul-mukulkan tangannya yang terkepal ke dagu, begitulah ulahnya bila sedang bersenang hati, tak sedikit pun ada prasangka dalam hatinya yang polos, “Heuuu…heeeuuu” celoteh Oon dengan gembiranya sambil berjalan berputar-putar. Tangannya tak henti-henti memukul dagu hingga air liurnya meleleh-leleh. Sikap Oon itu membuat Oni kesal apa lagi melihat air liur Oon yang membasahi bajunya. “Diam kamu…kalau kamu nurut nanti kamu boleh makan ini semua” kata Oni sambil menunjukkan Chiki di tangannya.
“Auuu…auuuu” seru Oon sambil mencoba meraih Chiki di tangan kakaknya tapi Oni sengaja mempermainkan adiknya sehingga tangan Oon cuma berhasil menggapai angin.
“Ayo ikut aku ke sungai sebelah sana nanti di sana kau bisa makan sepuasnya” Oni menarik tangan Oon bergegas, dan mereka pun berlari-lari kecil menyeberangi jalan, berbelok ke arah tanggul dan melewati tanah becek berlumpur sepanjang pematang masuk ke daerah pinggiran Kali Ose. Tidak banyak orang lewat, Kali Ose sudah mulai sepi karena orang sudah pada selesai mandi dan mencuci. Oni menggandeng tangan adiknya ke arah hulu di mana telah diperkirakannya tidak akan ada orang yang akan melihat mereka berdua. Di seberang perkampungan yang berbatasan dengan kebun kosong tak terurus milik pak Haji Ramli Oni berhenti dan melihat keadaan sekitarnya, inilah lokasi yang pas sesuai dengan rencananya tidak akan ada orang lewat sini dan Oni memandang ke arah aliran Kali Ose yang tenang namun ia yakin cukup dalam airnya. Angin berhembus tenang, pohon-pohon bergoyang perlahan rumput pun seolah lelap terbuai indahnya cuaca, tak ada yang menyadari gemuruh dalam dada Oni.
“Oon ayo sini, duduk sini!” kata Oni sambil menarik tangan adiknya. Oon menurut saja, matanya yang bening bekerjap-kerjap tanpa dosa.
“Kamu mau ini?” tanya Oni sambil menyodorkan Chiki di depan wajah si Oon, air liur Oon meleleh seketika matanya berbinar-binar. Ia mengoyang-goyangkan kepalanya sambil tersenyum-senyum
“Tapi kita harus main-main dulu…bagaimana?”
Oon masih menggoyang-goyang kepalanya seolah tak mengerti apa kemauan kakaknya. Oni lalu mengambil tali plastik dari saku celananya dan mengikat bungkusan Chiki itu dengan tali kemudian dilemparkannya bungkusan terikat tali itu ke sungai sehingga terapung-apung mengikuti aliran sungai. Sebentar kemudian ditariknya bungkusan itu dan dilemparkannya lagi ke tengah sungai. Hal itu dilakukannya berulang kali seolah seperti orang yang sedang mengail dan memperoleh seekor ikan yang besar. Oon mulai mengerti dan menyambut gembira permainan baru kakaknya, buru-buru ia mencoba menarik tali itu dari tangan kakaknya. Oni sengaja membiarkan tali itu dan menyerahkannya kepada Oon yang tertawa-tawa dengan girangnya. Ditariknya tali dan bungkusan Chiki itu dan kemudian dilemparkannya lagi ke kali, Oni hanya mengamati saja kelakuan adiknya yang tengah berkonsentrasi penuh pada permainan mengasyikkan itu sehingga kemudian saat adiknya lengah Oni dengan sepenuh tenaga mendorong tubuh adiknya hingga tercebur ke dalam Kali Ose yang menderu.
Oon terkejut setengah mati tak menduga kejadian yang begitu tiba-tiba dan kepalanya hampir kelelap, dengan panik ia menggerakkan tubuhnya tak beraturan gelagapan di dalam air yang bergejolak, air sungai segera memenuhi mulut dan hidungnya, “Haep….haep…” tangan Oon yang kecil itu muncul tenggelam ke permukaan air, ia masih berusaha keras mengangkat tubuhnya, tapi seolah semua usaha itu nyaris sia-sia, sedang Oni diam saja berdiri mematung melihat perjuangan adiknya yang tengah bergelut dengan maut. Namun sesaat kemudian terdengar suara ceburan keras yang membuat Oni sangat terkejut, tak disangkanya ada seseorang yang telah terjun ke sungai mencoba menolong adiknya, perasaan Oni tiba-tiba didera oleh rasa takut yang luar biasa yang membuatnya terkencing di celana, dan cekaman rasa itu membuatnya berlari kesetanan tanpa mempedulikan sekitarnya lagi.
Oni sungguh tak pernah menyangka ada Bang Jupri yang hendak memandikan kerbaunya tiba-tiba melintas dan bereaksi spontan begitu melihat seseorang tercebur nyaris kelelap di kali. Oni sungguh tak menduga untuk kesekian kalinya rencananya bakal gagal rupanya Tuhan punya rencana lain, dan untuk dosanya kali itu sekali lagi ia harus membayar mahal. Setelah hampir seharian mencari Partiyem berhasil menemukan Oni tengah meringkuk di gardu ronda seperti anjing yang ketakutan menyembunyikan ekornya, tak ayal lagi Partiyem menyeret tubuh Oni yang menggigil itu dengan kasar di bawah tatapan puluhan mata penuh tanda tanya.
“Dasar anak jadah sekali lagi kamu mau matiin adikmu ya? Belum puas kamu aku gebuki? Awas kamu berani-berani lagi menyakiti Oon aku kirim kamu ke kantor polisi baru nyahok kamu…biar mampus kamu di bui! dasar anak tak tahu diuntung!.. biar modar kamu nggak aku kasih makan!” teriak Partiyem yang kalap sambil menampari wajah dan memukuli tubuh Oni dengan rotan penggebuk kasur. Oni menangis tersedu meringkuk di pojok ruangan sambil mengusap bibirnya yang berdarah, hancur harapannya hancur juga hatinya, tapi kepedihan itu tidak membuatnya jera justru semakin mengobarkan dendam dan kemarahan di dalam dadanya.
“Tunggu…awas kamu bocah idiot! awas pembalasanku!” rutuk Oni dalam hatinya.

***
Masih terdengar gempita suara massa, kaki-kaki yang berlarian lintang-pukang, atap roboh dan jelaga hitam memenuhi paru-paru perumahan sederhana sepanjang gang yang sempit dan kumuh itu dengan sesaknya rasa perih. Matahari siang yang garang memanggang kecemasan dan Partiyem kalap berlari menuju rumahnya yang terbakar. Api telah menelan kerontangnya seluruh pengharapan, hidup sudah demikian rapuh telah luruh pula dalam tangan-tangan yang melepuh, dan jeritan menyayat membelah hati semua orang di kampung itu hingga berkeping-berkeping. Kaki-kaki panik berlarian menenteng ember plastik, tong-tong berkarat dan robekan terpal penuh oleh teriakan dan air mata. Api berkobar demikian ganas membutakan mata-mata basah dan degup jantung nyaris pecah berjatuhan seperti daun-daun kering gugur ke atas tanah yang hitam oleh debu jelaga.
Api telah menelan jiwa kerontang rumah demi rumah papan dan gedeg itu satu persatu, membakar siang yang tiba-tiba kelam lebih kelam dari malam, menudungi langit dengan pekatnya hawa sang maut, teriakan orang-orang tenggelam dalam kepanikan, teriakan Partiyem tenggelam, semua teriakan telah sama-sama tenggelam oleh kepulan asap, oleh kepungan jelaga yang mengotori wajah dan hati mereka dengan ketidakberdayaan. Sedang dari kejauhan terdengar begitu banyak bunyi-bunyian memenuhi telinga, sirene pemadam kebakaran, teriakan nama-nama, jeritan kayu yang menghitam, dan api pun terbang bersama angin kering merembet jauh hingga ke pasar menyisakan tangisan lapak-lapak rubuh, gemeretak kios-kios hangus, dan rasa geram memenuhi batin karena barang-barang dagangan yang musnah begitu saja!…musnah pula penyambung hidup mereka. Semua jadi mengabur makin lama makin kabur tinggalkan luka hati yang nyeri, yang kian lama kian nyeri, mengubur jiwa mereka menjadi abu.
Orang-orang membuat berbagai pengucapan berbeda atas seluruh kejadian itu dengan bibir-bibir bergetar dan jari-jari menggeletar. Sekali pun mereka mencoba mencari tahu darimana deru api dan asap itu berasal terbawa angin hingga kemana-mana. Langit masih mempertanyakan dan juga sekian banyak orang berkerumun dengan pandangan sedih, pasrah, menangis, marah dan kecewa yang tercampur aduk dan masih juga menaruh sejuta harap pada segala sesuatu yang masih mungkin diselamatkan, tetapi kepedihan itu menggores begitu dalam atas abu panas di tangan mereka, dan kayu-kayu merapuh telah memerah jadi arang menghanguskan hati semua orang yang menangisi korban-korban yang mati. Dan Oon anak Partiyem adalah salah satu diantara para korban, tinggal debu dalam suratan takdirnya terpanggang oleh panasnya bara. “Astaghfirullah!” seru batin semua orang. “Inna li’l-Lah-i wa inna ilay-hi raji’un” doa bibir-bibir pilu bagi bocah kecil yang menemui ajalnya dalam ganasnya kobaran api, dan Partiyem terkapar pingsan.
Namun ada satu hal yang luput dari perhatian orang-orang malang itu, dari kejauhan seorang bocah laki-laki berumur 12 tahun menatap kobaran api yang masih mengganas hingga beberapa saat lamanya sebelum kemudian bocah itu berjalan pergi meninggalkan kampung yang nyaris terbakar habis sambil mengguratkan senyum kemenangan di bibirnya yang terluka.

Kuningan, April 2004